Diary #DiRumahAja - Ramadan dan Idul Fitri 2020
01:43
Diary #DiRumahAja - Ramadan dan Idul Fitri 2020
Tidak ada salat tarawih berjamaah. Tidak ada silaturahmi dan berjabat tangan. Ramadan dan Idul Fitri 2020.
Welcome to my curious way!
Apa kabar shi-gUi? Semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, diberi kelimpahan berkah berupa kesehatan dan kebahagiaan. Aamiin....
Sedih ya Ramadan udah meninggalkan kita. Semoga kita dipertemukan kembali dengan Ramadan tahun depan. Aamiin....
Bagaimana dengan puasa di bulan Ramadan tahun 2020 ini? Lancar? Lalu, bagaimana dengan lebaran atau Idul Fitri 2020? Ramadan dan Idul Fitri di tahun 2020 benar-benar berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Alasannya tentu kita semua tahu. Karena Ramadan dan Idul Fitri tahun 2020 dilaksanakan di tengah wabah Covid 19 yang melanda dunia termasuk Indonesia.
Bagi saya tidak terlalu banyak perbedaan. Tapi bagi sebagian besar orang tentu saja sangat berbeda. Kenapa pada saya tidak terlalu banyak perbedaan? Karena saya adalah tipe orang yang selalu di rumah saja. Rutin keluar hanya untuk bekerja. Setelah jam kerja usai, waktu saya habiskan untuk diam di rumah saja. Untuk keluar belanja kebutuhan pribadi hanya sebulan sekali. Jadi ketika diberlakukan aturan #DiRumahAja untuk memutus rantai penyebaran covid 19, bukan menjadi masalah bagi saya. Asal persediaan makanan cukup tersedia, fine!
Namun, walau tidak banyak, saya juga turut merasakan perbedaannya. Terutama di tempat kerja. Sejak sekolah-sekolah diliburkan, kerjaan di toko jadi lebih santai. Jam kerjanya pun berkurang banyak. Jika biasanya per hari jam kerja 8-9 jam. Sejak ada pembatasan, jam kerja hanya jadi 5 jam saja. Sebenarnya untuk pihak swasta yang tinggal di desa bebas saja mau kerja sampai jam berapa. Karena memang tidak seketat di kota-kota besar. Hanya aja, seandainya maksa buka seperti jam kerja biasa, customer-nya yang nggak ada. Jadi ya mengikuti aturan yang ada saja. Daripada manyun sendirian di toko sampai sore, mending tiduran di dalam tempurung kura-kura, kan? Kekeke. Dasar pemalas!
Selain jam kerja yang berkurang dan kerjaan jadi super santai, kondisi di lingkungan kerja pun jadi lumayan sepi. Karena tempat kerja deket sama puskesmas, TK, dan SMP. Di puskesmas jam kerja dan jumlah kunjungan rawat jalan pasien juga dibatasi. Jadilah jumlah orang-orang yang biasa berkeliaran (?) di sekitar tempat kerja berkurang drastis. Tidak ada lagi pedagang jajanan yang biasa berkumpul di depan toko di jam anak TK pulang sekolah.
Rasanya kok egois dan jahat banget ya. Karena saya merasa situasi dan kondisi yang lenggang itu rasanya nyaman sekali. Padahal saya juga merasakan dampak negatifnya berupa penghasilan yang turut turun drastis. Intinya saya tidak menderita sendirian. Walau situasi dalam pekerjaan jadi tenang dan santai, tapi penghasilan menurun dengan sangat drastis. Semua orang mengalami penderitaan hidup di tengah pandemi ini.
Alhamdulillah puasa di bulan Ramadan lancar. Hanya sekali saja saya mengalami sedikit gangguan yaitu perut perih setelah makan sahur. Setelah ditelusuri mungkin karena malam harinya saya minum jus jambu terlalu banyak. Kadang perut saya memang tidak bersahabat dengan jambu. Mau dijus atau dimakan langsung, kalau ndak tepak ya bikin perut sebah bahkan perih. Selebihnya alhamdulillah lancar-lancar saja.
Pada saya situasi Ramadan pun tidak banyak perubahan. Walau di beberapa tempat ada larangan salat berjamaah tarawih di musala, di tempat saya aktivitas ini masih berjalan normal. Hanya setelah ada kasus positif pertama mulai ada yang memilih untuk beribadah di rumah sendiri. Tapi masih banyak yang tetap mengikuti ibadah bersama di musala. Perubahan itu tidak ngaruh pada saya. Karena sejak kena GERD dan pasca kena GERD, saya memang belum berani mengikuti ibadah bersama di musala. Pernah sekali mencoba, berakhir anxiety saya kambuh, hingga saya terpaksa pulang di tengah-tengah jalannya ibadah. Sejak saat itu saya belum berani untuk mencoba lagi mengikuti jamaah di musala. Karena terbiasa beribadah sendiri di rumah, perubahan situasi ini tidak berpengaruh pada saya. Tapi, Bapak, Ibu, dan Nduk Ra yang merasakan perubahannya. Setelah ada kasus positif covid 19 pertama di daerah saya, Ibu dan Nduk Ra memutuskan untuk ibadah di rumah saja. Kalau Bapak masih tetep ibadah di pondok dan masjid dengan menerapkan protokol yang udah dikampanyekan yaitu menjaga jarak dan menggunakan masker.
Ujian datang di tengah bulan Ramadan. Nduk Ra jatuh sakit dan kembali harus opname. Awalnya divonis ISK, tapi gejala tidak berkurang walau sudah minum obat. Hari berikutnya dibawa ke IGD dan di cek lab, ternyata tifusnya kambuh. Karena kondisi Nduk Ra lemah banget, hampir dehidrasi, jadi harus opname. Nduk Ra emang kalau sakit manjanya minta ampun dan rada susah suruh makan dan minum banyak. Jadi kondisi drop sampai hampir dehidrasi.
Di puskesmas ada aturan pasien opname harus dijaga oleh satu orang saja dan tidak boleh dijenguk. Jadi selama Nduk Ra opname, saya nggak ikutan jaga bahkan ndak menjenguk. Yang sempet bikin parno itu kondisinya yang nggak kunjung membaik walau udah opname dan rutin obat. Karena lagi musim wabah dan udah ada kasus positif, pikiran sempet kemana-mana. Nduk Ra emang di rumah aja, tapi Ibu dan Bapak masih wara-wiri tiap hari ke pasar. Bundanya Nduk Ra juga masih jualan ke pasar. Saya sendiri masih kerja yang tiap hari masih bertemu dengan pasien puskesmas. Akhirnya di cek lab ulang dan ketahuan ada DBD juga. Ya Allah. Ujian yang lumayan. Kepulangan Nduk Ra pun ditunda karena di hari dia bakalan diizinkan pulang muncul bintik-bintik merah hingga dia harus di cek lab ulang dan ketahuan ada DBD atau demam berdarah. Gejalanya baru muncul belakangan. Ketika di lab pertama tidak muncul, hanya ketahuan tifusnya doang.
Alhamdulillah setelah sepuluh hari perjuangan, Nduk Ra diizinkan pulang. Lega. Untuk menjaga keamanan, kami tidak membuka pintu untuk kunjungan Nduk Ra pasca opname. Alhamdulillah beberapa memaklumi dan saling berkabar lewat WhatsApp. Tapi ada juga yang tetep nekat datang untuk menjenguk. Hehehe.
Pada hari-hari tertentu jalan depan rumah masih ramai dengan suara petasan dan canda tawa anak-anak yang jalan pagi setelah jamaah salat subuh. Namun tidak seramai seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan tidak ada seminggu keramaian petasan itu. Bazar Ramadan pun sempet digelar dengan mengikuti protokol harus jaga jarak dan pakai masker--yang pada prakteknya yang jualan udah jaga jarak dan pakek masker, tapi yang beli masih dempet-dempetan. Namun ketika ada satu kasus positif dikonfirmasi, perlahan para penjual mulai memilih tidak berdagang lagi di bazar Ramadan.
Untuk selamatan menjelang Ramadan dan malam-malam tertentu saat Ramadan masih digelar dengan sistem hajatan bersama. Bedanya para peserta harus pakek masker dan jaga jarak. Saat malam takbiran juga alhamdulillah masih ramai takbiran di masjid dan musala. Bahkan ada yang takbiran keliling juga. Oya, ketika kasus positif pertama sudah dikonfirmasi, kegiatan di masjid sempat dibatasi. Tapi akhirnya salat Jumat dan Idul Fitri tetap digelar.
Pasca GERD, saya baru berani mengikuti jamaah salat Idul Fitri pada 2015 kalau tidak salah ingat ya. Rasanya sedih tahun ini tidak bisa ikut jamaah salat Idul Fitri. Sebenarnya salat tetap digelar di masjid dengan syarat harus pakek masker, jaga jarak, bawa sajadah sendiri, dan tidak boleh salam-salaman. Tapi saya memilih untuk tetap tinggal di rumah saja. Hanya Bapak dan Ibu yang pergi ke masjid.
Yang sempat membuat saya galau adalah tradisi silaturahmi. Orang ada anxiety mah gini ya. Apa-apa dipikirin dan bikin galau. Ditambah dengan adanya kasus positif di tempat saya. Akhirnya menenangkan diri dengan tetap memakai masker dan jaga jarak, bahkan tidak bersalaman dahulu. Pada prakteknya, nggak bisa dong! (T__T)
Karena ibu dan bapak adalah yang tertua dalam keluarga masing-masing, jadi rumah menjadi tempat jujukan untuk saling bermaaf-maafan. Adik dari ibu selalu datang dan berkumpul setelah jamaah salat Idul Fitri. Dan saya tidak bisa menghindari untuk tidak bersalaman. Namun saya meyakinkan diri saya bahwa sanak saudara saya adalah orang lokal yang selama ini sudah sebisa mungkin mengikuti prosedur jika harus beraktivitas di luar rumah. Alhamdulillah saya bisa mengikuti prosesi silaturahmi dengan ya lancar. Hehehe. Bahkan lebaran hari kedua saya juga ikut berkeliling ke kerabat tua dari bapak. Walau berakhir tumbang. Jadi hari Selasa dan Rabu itu tumbang. Kondisi fisik agak menurun. Kebetulan lagi PMS juga. Jadi diem di rumah aja lagi.
Kupatan pun digelar dengan hajatan bersama. Peserta harus memakai masker dan jaga jarak. Tidak ada lagi halal bi halal warga sekampung. Kalau tradisi ini sih udah punah beberapa tahun yang lalu. Heuheuheu.
Oya, ada satu lagi yang beda. Karena Ramadan tahun ini dijalani di tengah wabah dan pemerintah sempat membuat kebijakan napi di penjara pada dibebasin, jadi ada sedikit rusuh. Maling mulai bermunculan. Karenanya ada kegiatan ronda di tengah Ramadan untuk menjaga keamanan kampung. Uniknya bapak bapak dan mas-mas yang ronda ini sekalian bangunin sahur kalau mendekati jam sahur tiba. Pakek musik-musik seadanya gitu. Anehnya, bagi saya malah jadi semacam teror. Karena alunan musik pengiringnya kayak yang digunain kalau nyari anak ilang dibawa wewe gombel (T_T) Kalau denger jadi ketakutan sendiri. Dasar, kura-kura!
Pada hari pertama lebaran di tempat saya, walau tidak terlalu ramai tapi boleh dibilang masih kondusif. Masih ada mobil luar kota yang berdatangan. Ini membuat saya bertanya-tanya, apa lolos dari check point PSBB? Atau lewat jalan tikus? Atau diloloskan karena suatu alasan? Embuhlah! Ai dunno babar blas!
Di kampung saya masih ada beberapa tetangga yang datang untuk bersilaturahmi. Tetangga yang rutin setiap tahunnya bersilaturahmi sih. Sebenernya kampung saya orang lokal semua. Jadi kalau tidak ada pendatang ya masih aman. Tapi karena di desa saya udah ada kasus positif, jadinya kebanyakan secara sadar diri mulai membatasi diri.
Di desa-desa tetangga perayaan kupatan masih ditandai dengan penggeredekan petasan secara besar-besaran. Bedanya, mungkin tahun ini mereka tidak bisa melaksanakan tradisi mengunjungi tempat wisata X yang semacam menjadi sebuah ritual tiap tahun saat lebaran kupatan. Biasanya banyak warga dari desa-desa tetangga berwisata ke tempat wisata X dengan membawa bekal ketupat, lepet, dan lontong untuk nantinya dimakan di tempat wisata itu bersama keluarga. Simpelnya acara pindah makan. Hehehe. Biasanya tempat wisata X menyediakan hiburan berupa orkes. Sederhana sekali kebahagiaan wong ndeso termasuk saya ya. Hehehe. Bahagianya saya sih bisa tidur-tiduran di dalam tempurung kura-kura seperti hari ini.
Selamat datang, Juni. Semoga di bulan Juni ini semua berubah semakin membaik. Aamiin....
Sekian curahan hati saya. Mohon maaf jika ada salah kata. Terima kasih buat yang udah meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya.
Tempurung kura-kura, 01 Juni 2020.
- Kurayui -
0 komentar