A Year Ago

07:01

 Setahun yang lalu...



Sebulan sekali setiap hari Minggu usai Kamis Kliwon Jumat Legi aku selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi makam Nenek dan kedua Kakek. Begitu juga dengan hari itu, Minggu, 15 Oktober 2023. Usai membabu ria membersihkan rumah, segera membersihkan diri dan bersiap nyekar ke makam. Momen seperti seperti itu biasanya selalu membuat aku dan Bapak adu pendapat. Aku pengen jalan kaki aja karena sekalian olahraga, Bapak maunya nganterin, dibonceng motor karena kasihan liat aku jalan sendirian. Setelah tawar-menawar seringnya berujung aku tetep kukuh jalan kaki. Tapi nggak dengan hari itu, begitu Bapak menawarkan nganter, langsung aku iyain. Jadilah aku berangkat ke rumah Mbak, dibonceng Bapak. Jaraknya deket, masih satu desa beda kampung doang, kalau jalan kaki agak cepat, 15 menit udah nyampek.


Sewaktu tiba di ujung gang dan menunggu untuk menyeberang, aku melihat satu pohon tabebuya sedang berbunga lebat. Cantik sekali hingga nyeletuk, "Ah cantiknya tabebuya. Pasti di desa P lagi berbunga lebat juga."

"Apa kamu mau ke sana? Ayo, nanti tak anter. Habis nyekar a?" Bapak menyahut antusias.

"Nggak ah. Toh udah pernah ke sana dan bikin video." Aku menolak karena emang rasanya capek, maunya habis nyekar rebahan aja di rumah Mbak.

"Nggak papa, nanti anak-anak diajak juga biar seneng."

"Nggak ah. Ogah panasnya."

"Ya nanti kalau kamu mau liat ke desa P, WA o ke Ibumu."

"Iya."


Setelah dianter ke rumah Mbak, kami nyekar ke kramatan bersama. Selesai nyekar, nggak langsung pulang, ngendok dulu di rumah Mbak, padahal ya nggak ngapa-ngapain, tapi emang seringnya gitu ntar pulangnya sorean. Pukul tiga sore, aku pulang bersama Nduk Ra. Ketika nyampek rumah, ketuk pintu, Bapak yang bukain pintu. Nggak ada obrolan.


Senin, 16 Oktober 2023. Aku tidak ingat sama sekali dengan momen di hari Senin. Mungkin ada momen aku dan Bapak buka bersama usai puasa sunah Senin.


Selasa, 17 Oktober 2023. Pagi itu aku jalan pagi bersama Gembul lalu, menstruasi datang dan seperti biasa agak mengacaukan hari karena nyeri haid di hari pertama cukup menyiksa. Alhamdulillah bisa bekerja dengan baik dan pas pulang udah dipetikin mangga masak pohon sama Bapak. Dengan antusias Bapak memintaku segera mengupas mangganya. Setelah selesai bebersih, langsung kupas mangganya. Sebelum ngupas sempet nanya, apa jatah buat Mbak udah ada. Kata Bapak, Udah, itu buat kamu. Mangga masak pohon emang nggak pernah salah, masyaallah banget enaaaknya. Terlebih sama Bapak dipetikin yang masih kriuk-kriuk.


"Gimana? Enak a?" Tanya Bapak.

"Enak. Sampeyan mau a?" Kutawarkan buah mangga yang udah kukupas dan kupotong.

"Kamu ini gimana sih! Udah tahu gigiku sakit, malah ditawari pencit atos." Bapak masih dengan senyum menghiasi wajahnya.


Selama aku makan mangga, Bapak nungguin di dapur, di kursi kebesaran yang selalu menjadi tempat beliau duduk. Mangga masak pohon yang masih kriuk-kriuk itu nikmat banget, tapi karena gigi Bapak sakit jadi terlalu keras buat Bapak sehingga Bapak nggak bisa ikut makan. Tapi Bapak tahu kalau mangga yang modelan gitu kesukaan anak-anaknya, makanya selalu dipetikin sebelum keduluan orang-orang panjang tangan.


Sehabis makan mangga, aku berdiam diri di kamar, meredam rasa sakit di perut akibat dari nyeri haid di hari pertama. Tibalah waktu makan malam. Bapak dan Ibu membawa ayam lalapan dan makan bersama kecuali aku. Mangga masak pohon udah bikin kenyang dan nyeri haid membuat nafsu makan hilang. Saat makan, Bapak berulang kali memanggilku untuk bergabung dan aku terus menolak. Bahkan Bapak sampai bilang, "Makan ikannya aja sini, nggak usah pakek nasi. Enak ikannya." Aku tetap menolak bergabung dan meringkuk di kamar.


Usai salat Isya, seperti biasa Bapak nonton tivi di ruang tengah. Waktu itu tentang singkong yang diolah menjadi berbagai macam olahan makanan. Sambil nonton Bapak terus ngomentari tayangan. Tiba-tiba Bapak kesakitan, poyang-paying sambil terus mengeluhkan giginya sakit banget sampai kepala mau pecah. Aku langsung keluar kamar dan memanggil Ibu. Bapak poyang-paying di atas lantai sambil memegangi pipi dan mengelihkan giginya sakit sekali. Perasaanku mendadak nggak enak, Bapak emang ada sakit gigi tapi nggak pernah sampai seperti itu. Aku pun menelpon Mbak, mengabarkan kalau Bapak kesakitan. Lalu, Mbak memintaku memijat telapak kaki Bapak untuk meredakan sakit gigi.


Baru kupijat sebentar, Bapak minta izin ke kamar mandi. Karena kami khawatir Bapak jatuh, Ibu meminta Bapak jangan mengunci pintu kamar mandi. Di dalam kamar mandi Bapak masih terus mengeluhkan giginya yang sakit. Hatiku makin nggak karuan rasanya, karena nggak pernah liat Bapak kesakitan sampai menangis. Selesai dari kamar mandi, Ibu meminta Bapak rebahan di kamar saja, bukan di kasur di depan televisi di ruang tengah. Masih dengan kesakitan, Bapak bertanya, "Kepalaku masih ada a? Sakit sekali, kepalaku rasanya mau lepas."


Melihat Bapak terus kesakitan, aku menawarkan untuk memanggil petugas IGD di puskesmas. Bapak menolak dan berkata, "Wong loro untu kok ate mbok gowo nang UGD se Nduk?"


Hatiku makin nggak karuan usai mendengarnya. Sejak aku dewasa, Bapak nggak pernah manggil aku dengan panggilan Nduk lagi, tapi malam itu tiba-tiba memanggilku seperti itu. Hati makin ndak karuan dan aku segera menghubungi Kelinci untuk konsultasi masalah obat. Kelinci yang latar pendidikannya seorang bidan menyarankan sebuah obat dan karena aku nggak punya, dia berjanji akan mengirimkannya.


Ketika Kelinci datang dan aku ke depan untuk membuka pintu, terdengar Bapak bertanya pada Ibu, aku memanggil siapa. Bapak khawatir aku beneran manggil petugas IGD. Ketika aku balik sama Kelinci, Bapak terlihat lega walau masih kesakitan. Waktu ditawari minum obat, Bapak sempat membentak kami, bahkan sampai bawa kata mati. Kami kaget, hanya bisa diam dan saling melempar pandangan. Setelah rasa sakitnya berkurang, Bapak mau minum obat dan mulai tenang.


Kelinci pamit pulang, namun berkata, "Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya, Eonn. Pokok saling berkabar terus. Itu besok Kung diajak periksa aja. Insyaallah kalau kena obat itu bakalan mendingan."


Karena Kelinci seorang paramedis dan ngomong gitu, perasaanku makin nggak karuan. Terlebih Bapak yang mulai tenang tiba-tiba nanya, "Jam berapa?" Perasaanku makin kacau.


Setelah minum obat, Bapak mulai tenang dan bisa tidur. Aku pun kembali ke kamar, tapi terus bertukar pesan dengan Ibu. Aku mendesak Ibu agar esok ngajak Bapak periksa. Walau sebelumnya Bapak udah mengiyakan, biasanya kalau kondisi udah membaik nggak bakalan mau periksa. Aku pun meminta Ibu agar lekas beristirahat setelah Ibu mengabarkan bahwa Bapak udah bisa bobok.


Aku sempat menghubungi Ai, salah satu teman K-Popers yang berprofesi sebagai Dokter Gigi untuk mengonsultasikan kondisi Bapak. Menurut Ai, obat yang diberi Kelinci sudah tepat untuk mengatasi sementara. Sama seperti Kelinci, Ai menyarankan untuk periksa saja agar mendapatkan penanganan dan obat yang tepat. Malam itu aku terjaga hampir sepanjang malam.


Rabu, 18 Oktober 2023. Pagi itu Bapak terlihat lesu dan lebih banyak diam. Kata Ibu, sakit giginya udah reda. Walau begitu aku masih kukuh meminta Ibu untuk mengantar Bapak periksa. Ibu menyanggupi. Ketika kami sarapan, Bapak hanya diam memperhatikan. Padahal biasanya walau nggak ikut makan, suka icip-icip lauk. Kemudian, aku pun buka toko seperti biasa.


Ketika nggak melihat Bapak di rumah, aku nanya Bapak ke mana. Kata Mbak, Bapak nganterin Gembul sekolah. Sontak aku marah ke Mbak karena membiarkan Bapak nganter Gembul sendirian, nggak ditemani, karena semalam Bapak kesakitan parah. Aku menunggu dengan cemas, ketika melihat Bapak datang, aku lega.


Aku nanya lega ketika nggak melihat Bapak di rumah, ternyata Bapak duduk di bawah pohon mangga. Aku lega, nggak papa biar berjemur buat dapat vitamin D. Hari itu TK depan rumah libur, karenanya suasana sangat sepi. Aku nanya ke Ibu, apa Bapak mau periksa. Kata Ibu, nggak mau. Malah Ibu yang disuruh periksa karena ada keluhan di kaki. Selesai berjemur, Bapak nonton tivi. Ditemani Ibu yang udah kelar masak. Bahkan Bapak ketiduran dan kami memaklumi karena semalam mungkin tidurnya nggak nyenyak. 


Menjelang pukul sepuluh pagi, Bapak terbangun karena teringat harus menjemput Gembul. Bapak pamit mau buang air kecil, tapi tiba-tiba mengeluh dada sakit. Ibu panik dan memanggil kami. Mbak di kamar mandi, aku di toko. Setelah Mbak keluar dari kamar mandi, gantian aku ke kamar mandi karena udah nggak tahan kebelet pipis. Ketika ke kamar mandi, aku liat Bapak masih sadar, memengang dada dan terus mengaduh lirih seperti semalam. Ibu mempersiapkan segala keperluan untuk berobat. Ini menjadi hal yang sangat aku sesali hingga kini, kenapa aku malah milih ke kamar mandi buat buang air kecil daripada mendampingi Bapak yang kesakitan. Ketika aku hampir selesai, aku mendengar Ibu berteriak panik karena Bapak nggak sadarkan diri. Buru-buru aku keluar, Mbak udah lari ke IGD minta bantuan. Aku pun segera berlari keluar untuk minta bantuan membawa Bapak ke IGD tapi rumah tetangga yang biasa ramai orang sepi. Akhirnya aku minta bantuan Mas Kurir yang hari itu nganter paket sama Mas Penjual Cilok yang lagi mangkal di dekat rumah. Kebetulan ada dua orang customer juga, jadi ketika petugas IGD datang membawa dragbar, ada yang bantu menggendong Bapak untuk dibawa IGD.


Orang yang pertama aku hubungi adalah Kelinci. Dia yang tahu aku nggak pernah menelpon pun langsung paham jika ada hal mendesak dan segera menyusul ke IGD. Tak lama, adik-adik dari Ibu dan para sepupu menyusul kami di IGD. Aku hanya bisa duduk menatap Bapak yang sedang menjalani penanganan medis. Tubuhku gemetaran, badan terasa ringan. Karena Bapak tak kunjung sadar, akhirnya dirujuk ke rumah sakit. Karena aku sedang mens, Mbak yang pergi menemani Ibu. Diantar dan menggunakan mobil tetangga, Bapak dirujuk ke rumah sakit terdekat. Di rumah, aku menunggu ditemani Kelinci dan sepupu-sepupu dari Ibu.


Rumah sakit pertama nggak tanggung, Bapak pun dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Bapak dirujuk ke Rumah Sakit Panti Nirmala masih diantar tetangga. Sesampainya di sana Bapak sadar dan semua hasil pemeriksaan bagus, tapi harus tetap rawat inap karena esok harus bertemu dokter spesialis untuk pemerikasaan lebih lanjut. Dokter IGD yang menangani tidak menemukan penyakit dari semua hasil pemeriksaan. Akhirnya Bapak dipindah ke ruang rawat inap. Bulek, Paklek dan sepupu yang membawakan keperluan untuk menginap di rumah sakit juga sudah berada di lokasi.


Selepas Magrib, Mbak video call, Bapak udah sadar, udah mau makan walau hanya roti. Waktu video call, yang dicari kedua cucunya. Aku sempat melihat sekilas, Bapak udah sadar tapi masih terlihat lesu. Aku lega, walau hati masih tidak tenang. Usai video call dengan Bapak, anak-anak bercanda dengan riang. Aku merasa tak nyaman, tapi pikirku mungkin mereka lega karena baru saja video call dan melihat Bapak udah sadar bahkan ngobrol sama Bapak.


Selepas Isya hanya ada aku, Nduk Ra dan Gembul di rumah. Mbak tiba-tiba mengirim pesan, bertanya apa ada orang yang bisa disuruh ke rumah sakit karena Bapak kritis lagi. Aku meminta Nduk Ra menghubungi ayahnya sedang aku berusaha menghubungi saudara terdekat yang bisa dimintai bantuan. Kebetulan Jeff baru datang dari rumah sakit dan membawa barang ke rumah. Karena Mbak nggak membalas pesan, aku menelpon, "Bapak nggak ono umur, U." jawab Mbak singkat. Seketika dunia terasa berhenti sejenak dan aku hanya bisa menjawab, "Ya Allah, Nda." Sambil menahan air mata agar tidak jatuh. Nduk Ra yang paham situasi langsung menangis histeris, melihat kakaknya histeris, Gembul ikut menangis histeris. Rabu, 18 Oktober 2023 pukul 20.30, Bapak dinyatakan telah berpulang oleh Dokter yang menangani beliau.


Aku harus kuat! Aku harus kuat! Aku memelik Gembul erat, meminta Jeff untuk mengabarkan ke tetangga yang siang tadi mengantar Bapak ke rumah sakit bahwa Bapak berpulang. Nduk Ra ditenangkan Te In, istri Jeff. Rumah yang sebelumnya hening, menjadi ramai. Sanak saudara dan tetangga berdatangan. Aku masih berusaha menenangkan Gembul yang histeris, dadaku sesak, mataku panas, tapi tidak bisa menangis. Saudara yang berdatangan memelekku erat untuk memberi kekuatan. Kami menunggu Bapak pulang. Ketika Bapak pulang, tangis sanak saudara semakin pecah ketika bertemu dengan Ibu. Aku hanya bisa diam, memeluk Gembul erat. Rasa sesal dan sedih bercampur aduk hingga membuat dada sesak. Semalaman kami terjaga, menemani Bapak yang akan dimakamkan esok hari.


Kamis, 19 Oktober 2023. Rumah baru Bapak sudah siap. Kami masih menunggu Mas, kakak kedua yang sedang dalam perjalanan pupang dari Kalimantan. Penerbangan lancar, tapi ada sedikit kendala dalam perjalanan dari Surabaya ke Malang. Kami akhirnya sepakat jika sampai pukul sembilan pagi Mas belum juga datang, maka Bapak akan dimakamkan. Pukul sembilan kurang lima menit, Mas datang. Setelah menenangkan diri sejenak, pukul sembilan tepat prosesi pemakaman pun digelar. Air mataku tumpah, rasa sesal dan sedih semakin menjadi. Di saat-saat terakhir Bapak, aku nggak bisa menemani. Bahkan untuk perwatan dan penghormatan terakhir pun aku tak bisa. Hancur rasanya hatiku.


Hari Minggu jadi hari terakhir aku dibonceng Bapak. Mangga masak pohon yang dipetik Bapak di hari Selasa menjadi mangga terakhir yang dipetik Bapak untukku. Aku terlalu egois hingga melewatkan makan malam terakhir kami. Andai aku bergabung, aku bisa melihat ekspresi bahagia Bapak saat makan bersama seperti yang dituturkan Ibu dan Mbak. Beliau sangat bersemangat dan bahagia malam itu. Bahkan saat Bapak kesakitan, aku masih egois dengan memilih ke kamar mandi lebih dulu daripada mendampingi Bapak. Maafkan anakmu yang egois ini, Pak. Maafkan anakmu ini.


Semua berubah sejak 18 Oktober 2023 dan segalanya menjadi yang pertama: pertama tanpa Bapak. Aku belum terbiasa dan akan sulit untuk terbiasa. Selesai mencuci, hatiku terasa sedih karena teringat Bapak. Biasanya selesai mencuci, Bapak lah yang membantu menjemur cucian di loteng. Ketika tali jemuran putus, hampir aku memanggil Bapak, lalu teringat kalau Bapak udah nggak ada. Sambil membetulkan tali jemuran yang putus, sambil menahan tangis. Beruntung ada jejak yang ditinggalkan Bapak, jadi bisa mengikutinya untuk membenahi tali jemuran yang putus. Ketika tahlil hampir selesai di malam ketiga, aku yang duduk menatap pintu masuk membatin, "Habis ini pasti Bapak masuk buat ngasih kode kalau acara hampir selesai dan siapkan hidangan." Ketika yang muncul dari balik pintu adalah Paklek, baru aku sadar jika tahlilan malam itu untuk Bapak. Kami memang jarang ngobrol, tapi banyak hal manis dan bekesan yang kami lalui.


Ketika pagi hari tiba-tiba berkabut pada 22 Oktober 2023, hati sedih karena keinget dan kangen Bapak. Jika ada hal-hal seperti itu, Bapak pasti akan langsung memanggilku untuk kemudian bertanya, "Nggak mbok foto a? Nggak mbok video a?"


27 Oktober 2023. Pertama kalinya aku mengunjungi Bapak di rumah barunya. Masih seperti mimpi, mimpi buruk yang ketika aku bangun aku masih bertemu Bapak. Secepat itu prosesnya, tanpa ada tanda-tanda. Sebelum Bapak berpulang, ada beberapa berit duka yang sampai kepadaku. Tiba-tiba ada suara di kepala yang bertanya, "Jika sebentar lagi giliranmu, apa kamu siap?" Buru-buru aku menepis pikiran buruk itu. Ketika aku memperhatikan Bapak yang menemaniku makan mangga masak pohon, tiba-tiba muncul suara di kepala, "Apa kamu siap jika setelah ini tidak akan mendengar suaranya lagi?" Aku terus menepis pikiran jelek yang terlintas dan menganggap suara-suara itu hanyalah buah dari overthinking karena banyaknya berita duka yang aku dengar.



Ketika Bapak menolak untuk diajak periksa, aku bertanya pada Tuhan, "Gusti, saya harus gimana? Tindakan apa yang harus saya ambil, saya persiapkan karena Bapak nggak mau diajak periksa." Ketika terdiam dan merenung, seolah ada suara yang berkata, "Persiapkan dirimu sendiri." Aku sempat bingung, tapi kemudian minta dikuatkan atas apa pun yang nantinya akan terjadi. Setelah Bapak berpulang, mungkin itu semua yang dinamakan firasat.


Sebelum Bapak berpulang burung yang menandakan jika akan ada kematian juga lewat beberapa kali di atas rumah kami. Hal itu bukan yang pertama, biasanya memang sekadar lewat dan keesokan harinya atau beberapa hari kemudian pasti ada orang meninggal. Malam itu si burung seolah-olah berputar-putar di atas rumah kami. Hasil semua tes medis baik, tapi Bapak nggak mau nunggu besok buat periksa lebih lengkap.


Hari ini, 18 Oktober 2024, tepat setahun Bapak berpulang. Sore tadi aku ngapel ke rumah Bapak bersama Ibu. Kami masih terus belajar untuk beradaptasi, untuk terbiasa. Aku tidak baik-baik saja, tapi aku baik-baik saja. Maafkan aku, ya Pak. Belum bisa bikin Bapak bangga. Kalau ngapel kadang suka bengong, lalu nangis. Banyak yang ingin kukatakan, tapi entah kenapa sulit untuk memulainya. Yang pasti terima kasih untuk semuanya, Pak. Terima kasih sudah merawat dan mendidikku dengan baik. Damai di sana nggeh, Pak. Al-Fatihah kagem Bapak 🤲



18 dan Rabu adalah tanggal dan hari kelahiran kedua cucu Bapak dan bulan Oktober adalah bulan lahir Bapak.


Tempurung kura-kura.

Kamis, 18 Oktober 2024.

You Might Also Like

0 komentar

Total Pageviews