Ngobrol Tentang Pawang Hujan

04:27

 Heboh Aksi Pawang Hujan



Pada tanggal 20 Maret 2022, ketika membuka Instagram, saya disambut dengan video pendek yang caption-nya bikin saya penasaran, kurang lebih disebutkan tentang aksi pawang hujan di Sirkuit Mandalika. Karena penasaran, saya tonton videonya. Lagi-lagi saya lupa tidak menyimpan nama akun yang membagikan, bahkan tidak menyimpan link-nya agar bisa dibagikan di sini. Tapi, sekarang tinggal cari aja di Google atau sosial media, pasti nongol. Karena aksi tersebut jadi viral.

Ketika menonton video singkat di Instagram, saya tersenyum dan dalam hati berujar, "Keren mbake!"  Seperti biasa, saya intip kolom komentar. Pastilah ada pro dan kontra. Ada yang komennya bikin senyum, ada yang bikin geleng kepala dan ngelus dada. Ya bebas aja sih ya, namanya juga komentar, ngeluarin unek-unek yang merupakan respon dari peristiwa yang disajikan di video. Tapi karena hari itu agak sibuk, usai nonton saya ndak sempet cari-cari info lebih lanjut dan tenggelam dalam pekerjaan.

Malam harinya, Prime Eonni mengirim pesan di grup WhatsApp Sarang Clover. Isinya kurang lebih begini, Lagi rame di Tik Tok-ku Mba Rara pawang hujan Sirkuit Mandalika. Kebetulan pas kerjaan udah agak santai, jadi saya ngimbrung di obrolan. Karena minim info dan cuman baca komentar di Instagram, cuman bentaran doang, saya kirim balasan dengan menyimpulkan komentar netizen di Instagram. Ini nggak boleh ditiru ya! Apa pun itu baiknya cari info yang valid dulu. Jangan asal menyimpulkan komentar netizen. Karena apa yang mereka tulis adalah apa yang mereka ingin tulis, entah sesuai fakta di lapangan atau nggak.



Tapi masih hujan ya walau disarang, begitu komentar saya. Ternyata, katanya, berdasarkan info yang beredar di internet, hujan langsung reda. Ini di video yang di share secara utuh. Walau kemudian turun hujan lagi. Saya yakin pasti shi-gUi yang penasaran pasti udah nyari-nyari berita tentang ini. Jadi nggak perlu dibahas lebih detail lagi di sini ya.

Viral-nya aksi pawang hujan bernama Mbak Rara ini menimbulkan banyak reaksi dalam masyarakat Indonesia, begitu juga kami di Sarang Clover. Boleh dibilang kami udah nggak asing sama istilah pawang hujan, karena budaya dalam masyarakat kami, sosok pawang hujan ini sering muncul. Yang paling simpel ketika ada yang punya hajatan, pasti jasa pawang hujan dibutuhkan untuk sementara menghalau hujan yang bisa saja tiba-tiba turun. Tujuannya apa, ya biar acaranya lancar. Misalnya pas acara temu manten biar nggak rempong. Nggak kebayang kan kalau hujan sedang beberapa orang masih menjalankan tradisi arak-arakan kemanten sebelum 'temu' di rumah mempelai wanita. Arak-arakan di sini biasanya jarak deket, dari tempat parkir ke lokasi, misalnya. Tapi tetep aja rempong kan kalau hujan. Karena itulah jasa pawang hujan dibutuhkan untuk sementara menghalau turunnya hujan atau memindahkan hujan ke daerah lain. Intinya biar acara nikahan atau hajatan yang biasanya digelar sehari penuh itu lancar tanpa terganggu hujan.

Biasanya jika ada event-event khusus seperti pertunjukan atau gelaran seni, karnaval dan acara-acara sejenisnya pun membutuhkan jasa pawang hujan. Sama dengan hajatan, tujuannya biar acara lancar tanpa terganggu oleh turunnya hujan. Di tempat kami, pawang hujan biasa disebut dengan tukang siwer. Tukang siwer dipercaya sebagai orang yang memiliki keahlian khusus untuk menghalau atau memindahkan hujan. Sampai sekarang orang dengan kemampuan seperti ini ada dan jasa mereka masih digunakan ketika musim hajatan seperti pernikahan.

Salah satu penghuni Sarang Clover juga ada yang memiliki kemampuan menghalau hujan. Dia sering juga dimintai bantuan untuk menghalau hujan. Saya juga memiliki teman yang berprofesi sebagai pawang hujan. Dia ini amazing. Doi pernah cerita tentang dibayar 8 juta untuk jadi pawang hujan di sebuah proyek. Jadi ndak heran kalau gajian Mbak Rara juga amazing sebagai pawang hujan di Sikuit Mandalika.



Kenapa kok gajiannya mahal sekali? Sependek pengetahuan saya, pekerjaan sebagai pawang hujan bukanlah pekerjaan yang mudah. Pernah saya mendengar tentang salah satu pawang hujan legendaris di desa kami. Konon katanya, setiap menerima permintaan untuk nyiwer, almarhum kakek ini seharian akan duduk bersila di singgasana beliau. Nggak turun sama sekali, nggak makan, nggak minum, nggak buang air kecil dll. Pokoknya sehari semalam saat acara digelar, beliau akan duduk bersila di singgasananya. Jangan bayangin singgasana bak singgasana raja ya. Singgasana almarhum adalah amben atau dalam bahasa Indonesia disebut ranjang tanpa kasur dan hanya beralaskan tikar.

Hasil kerjanya gimana? Ndilalah kersane Gusti Allah, event yang beliau pegang selalu sukses. Salah satunya termasuk event besar di Sarang Clover. Percaya nggak percaya, event besar seperti pernikahan itu rawan 'gangguan'. Biasanya ada tukang siwer yang dimintai tolong untuk menghalau hujan dan ada 'orang pinter' yang dimintai bantuan untuk menghalau 'gangguan' lainnya. Karena biasanya ada makhluk astral yang demen gangguin acara hajatan semisal ngambilin kue atau bikin masakan jadi basi. Kalau nggak percaya, buktinya ada. Bagaimanapun di Jawa emang masih kental sama mistis, itu kenapa beberapa orang masih memegang teguh warisan budaya leluhur saat menggelar hajatan.

Saya kagum sama metode mengalihkan hujan yang dilakukan Mbak Rara. Seje deso, mowo coro. Setiap daerah punya tata cara tersendiri, termasuk ritual untuk menghalau hujan. Ritual yang dilakukan Mbak Rara beda sama yang pernah saya lihat di sini. Cara dan media yang digunakan juga berbeda walau tujuannya sama; untuk menghalau hujan. Dalam ritual, Mbak Rara menyebutkan memindahkan hujan. Sependek pengetahuan saya memang ada yang dipindahkan, ada juga dihalau biar hujannya nggak jatuh ke bumi. Balik lagi ke tiap daerah, tiap orang punya tata cara masing-masing walau tujuannya sama. Apalagi Indonesia ini kan terdiri dari banyak suku yang masing-masing punya budaya dan adat tersendiri. Jadi tiap daerah pasti punya keunikan tersendiri.

Di tempat kami, biasanya ada pemandangan, fenomena khas musim hajatan seperti nikahan. Kalau lagi bulan baik kan pasti banyak yang gelar hajatan tuh, entah nikahan atau sunatan dll. Nah, karena rata-rata sama, menggunakan jasa tukang siwer, kadang ada fenomena rebutan memindahkan hujan. Jika jeli, fenomena seperti ini sering terjadi. Beberapa waktu lalu kami sempat menyaksikan fenomena tersebut dari atap markas Sarang Clover. Menjelang siang, tiba-tiba mendung gelap datang, padahal sebelumnya cerah. Karena punya cucian, kami buru-buru naik ke atap untuk menurunkan cucian sebelum hujan. Ketika sampai di atas, keadaan langit membuat kami terpana sekaligus agak ngeri. Awan hitam bergulung-gulung datang dari arah barat. Seolah-olah hujan akan turun saat itu juga. Dari arah selatan juga ada gerombolan awan hitam yang datang menuju timur.

Sambil mengambil cucian, kami memerhatikan hal tersebut. "Apa ada yang lagi rebutan mindahin hujan?" Saya nanya salah satu penghuni Sarang Clover yang membantu saya ngambil cucian di loteng.

"Kayaknya iya. Ngeri ya, tapi keren! Liat tuh, utara bersih banget langitnya. Tapi dari selatan ama barat ada serbuan awan hitam, pada menuju timur." Rekan saya menjawab.

"Iya. Kamu bawa hape nggak? Coba abadikan." Pinta saya.

"Nggak. Hapeku di bawah. Lagian ngeri, kalau tetiba pas ngrekam ada bledek gimana? Kan ngeri."

"Iya juga sih. Ini aja mendung ama anginnya serem banget."

"Iya. Makanya buruan! Ngeri. Badanku kayak mau katut angin. Padahal segini tebel."

Kami pun tertawa bersama.

"Kira-kira siapa yang bakalan menang ya?" Saya kembali penasaran.

"Kita tunggu aja."

Selesai mengambil cucian, kami melipatnya di kamar belakang yang memiliki jendela besar menghadap ke bagian barat, bagian belakang markas Sarang Clover yang berupa area persawahan. Suasana yang sebelumnya mendung gelap tetiba berubah menjadi kembali cerah. Matahari kembali bersinar.

"Wah! Mendunge kayak dipindah e." Komentar saya sembari melipat cucian kering.

"Iya. Sepertinya nggak jadi dibuang ke sini." Komentar rekan saya.



Peristiwa di atas adalah salah satu gambaran bahwa pekerjaan jadi tukang siwer itu nggak mudah. Mungkin karena alasan ini bayarannya jadi mahal. Di daerah sini harga jasanya pun rata-rata jutaan. Selain proses pemindahan atau penghalauan hujan yang nggak mudah setiap pilihan baik itu menghalau atau memindahkan punya risiko masing-masing. Kalau mindahin, pas pada musim hajatan, pasti ada fenomena rebutan tempat buat memindahkan seperti yang sempat kami lihat. Biasanya yang lebih kuat, yang lebih sakti yang menang. Kalau dihalau biar nggak hujan, menimbulkan suasana nggak nyaman. Biasanya panas yang nggak nyaman. Makanya biasanya ada jeda waktu.

Fenomena yang viral kemarin pun katanya hujan reda tapi kemudian turun lagi. Sependek yang saya tahu biasanya emang gitu, ada jeda waktu. Karena tukang siwer biasanya negosiasi ama alam, bukan menentang kehendak alam, dan mereka hanya usaha sebisanya sebagai manusia. Yang Maha Menentukan, tetap Tuhan dong. Kalau semisal usahanya sukses seharian sampai nggak hujan ya berkah dari Tuhan. Tapi, kalau semisal hanya berapa jam aja nggak hujannya, berkah juga dari Tuhan, kan.

Selain berdoa langsung pada Tuhan, semisal pas perjalanan gitu ya, terlebih naik motor, kan nggak enak tuh kalau hujan, saya sering minta bantuan ke rekan kami di Sarang Clover yang punya kemampuan nyarang udan alias menghalau hujan. Biasanya dia nanya, acara jam berapa? Kadang kalau bisa sesuai jadwal, dia bilang, Okelah. Tapi jangan sampai melebihi jam itu ya. Risikonya apa? Kalau melebihi waktu yang ditentukan ya hujan turun beneran. Mungkin hasil negosiasinya sama alam hanya bisa pada rentan waktu yang diminta, nggak boleh kurang nggak boleh lebih. Kalau pas rezeki, ya bisa sampai lebih waktu hujan nggak turun. Balik lagi, manusia hanya bisa usaha, tetap Tuhan yang punya hak mutlak untuk menentukan. Jadi mungkin negosiasinya sama Tuhan dan sama alam gitu kali ya pas nyarang hujan.

Pawang hujan atau tukang siwer adalah salah satu warisan budaya nusantara yang saya merasa bangga sebagai warga negara Indonesia, sebagai orang Jawa mengetahui keberadaan mereka. Keberadaan mereka tetap dibutuhkan di dunia yang udah modern dan serba canggih ini. Menurut saya, mereka itu keren!

Jadi keinget beberapa tahun lalu waktu Nyai Wening mencari bibit-bibit baru yang bakalan diajari cara memindahkan hujan. Salah satu Penghuni Sarang Clover, Rama, ikut dalam pelatihan. Waktu itu di halaman depan markas utama dan kebetulan situasi lagi mendung gelap. Saya jadi penonton aja, sementara Rama yang masih berumur kira-kira 5-6 tahunan waktu itu, mulai diajari cara memindahkan hujan. Awalnya proses terlihat baik-baik saja. Awan hitam yang sebelumnya menggantung tepat di atas langit markas perlahan bergerak minggir. Saya dan beberapa Penghuni Sarang Clover yang nonton menikmati pemandangan yang ngeri-ngeri cantik itu. Di tengah-tengah proses, saat Rama mempraktikan cara memindahkan hujan, tiba-tiba ada satu benda jatuh dari langit. Tepat di depan kami yang duduk menonton. Kami, para penonton, kompak menjerit dan berhamburan memisahkan diri karena yang jatuh ternyata seekor katak besar.



Ritual belajar mindah hujannya jadi kacau karena tetiba ada katak besar, seukuran tangan orang dewasa jatuh dari langit. Karena posisi kami pas di tempat terbuka, nggak ada yang menaungi baik itu pohon. Kalau ada pohon kan bisa jadi itu katak lagi nangkring di pohon trus karena angin jadi jatuh. Nah, itu nggak ada. Sampai sekarang kalau bahas itu, kami masih bertanya-tanya, masa iya itu katak jatuh dari langit? Bahkan kami sempat heboh sendiri, menyebut katak itu adalah salah satu anak buah Gamabunta. Hehehe. Trus, kataknya dikemanain? Ditaruh pengki lalu dibuang ke sawah.

Inilah sepenggal kisah kami dan pawang hujan alias tukang siwer. Mohon maaf jika ada salah kata. Terima kasih. Semoga bermanfaat.

You Might Also Like

0 komentar

Total Pageviews