Prosedur Periksa Mata Menggunakan BPJS Tahun 2022

04:24

 Drama Panjang Ganti Kacamata Baru



Alhamdulillah. Akhirnya selesai juga drama panjang buat ganti kacamata di tahun 2022. Proses yang lumayan panjang, sebulan lebih baru kelar, dari Februari sampai Maret. Kok bisa gitu, Kura? Yuk, kita sharing detailnya gimana.

Ketahuan kalau mata minus pasca kena GERD, tepatnya di tahun 2017. Waktu itu badan udah membaik, tapi sakit kepala nggak ilang-ilang. Cek tensi normal, 3P masih displin. Keluhan lain, kalau liat wajah orang agak jauhan jadi aneh. Jadi hidung, mata, ama mulut mereka itu kayak jadi satu. Salah satu sepupu saya menyarankan periksa mata aja, sapa tahu itu mata minus bukan efek Anxiety--liat muka orang kalau agak jauhan jadi aneh. Setelah ngumpulin keberanian, akhirnya periksa ke faskes pertama, ke dokter yang nanganin saya dari tifus kambuh kedua setelah GERD. Curhat keluhan, akhirnya dikasih rujukan ke poli mata. Pertama kali perikas dirujuk ke RS Ben Mari. Kalau inget perjuangan nyari RS Ben Mari jadi senyum ndiri. Karena baru pertama kali dan nggak tahu lokasi, sampai nyasar dan nyasarnya jauuuh banget.

Pengalaman pertama periksa mata, ternyata ada beberapa pemeriksaan yang harus dijalani sebelum akhirnya ketemu dokter dan dapat resep kacamata. Alhamdulillah resep pertama langsung cocok. Setahun kemudian, di tahun 2018 periksa lagi tapi pindah ke SMEC Malang. Nyari yang lebih deket dan bisa periksa siang atau sore, biar pagi tetep bisa kerja. Masih pakek BPJS juga. Dari pemeriksaan kedua ini dapat pengetahuan baru yaitu untuk kacamata, resepnya ditanggung BPJS per dua tahun sekali. Jadi di tahun 2018, ganti lensa doang dengan biaya sendiri. Karena frame masih bagus, jadi ganti lensa doang.


Harusnya, tahun 2019 periksa lagi. Waktu di SMEC saya nanya ke dokter, baiknya periksa mata itu berapa tahun sekali. Dokter bilang, Baiknya enam bulan sekali. Tapi kalau nggak ada keluhan, setahun sekali. Di tahun 2019, mau periksa kok nggak ada keluhan. Akhirnya nunggu 2020 aja. Sekalian nunggu klaim BPJS bisa dicairkan. Hehehe. Ternyata tahun 2020 pandemi, akhirnya batal periksa. Tapi masih oke, maksudnya nggak ada keluhan yang berarti, jadi bertahan. Sampai 2021 pandemi masih menggila, jadi belum bisa periksa.

Akhir tahun 2021 saya mulai sering sakit kepala. Walau nggak pas haid atau dalam fase monster, sakit kepala sering dateng. Seringnya kalau udah dipakek aktivitas. Akhirnya niat, tahun 2022 harus periksa mata. Mulai cari-cari informasi, udah bolehkah periksa mata ke rumah sakit? Kan waktu pandemi ada pembatasan tuh, kalau nggak darurat banget sementara nggak dilayani. Trus sempet juga udah boleh, tapi syarat harus swab. Di tahun 2022 katanya udah boleh. Karena udah vaksin dosis satu dan dua, jadi nggak khawatir juga semisal ada syarat harus vaksin.

Akhirnya ke faskes pertama buat minta rujukan. Di sini saya dibuat kaget, karena katanya periksa ke poli mata udah nggak ditanggung BPJS lagi. Akhirnya pulang dengan tangan kosong. Sempet sedih juga, karena kan kita udah bayar rutin setiap bulan, giliran kita butuh nggak bisa makek. Mana kondisi ekonomi pas lagi agak oleng karena pandemi. Nyampek rumah saya cari informasi di internet. Kalau emang mata udah ndak ditanggung BPJS kan pasti rame tuh. Tarif naik aja rame, tapi ini kok mata dicoret dari daftar tanggungan pada adem ayem bae. Nggak nemu satu artikel pun yang bahas soal periksa mata nggak ditanggung BPJS.

Karena butuh dan minta rujukan nggak dikasih, akhirnya mau nggak mau ya pakek jalur mandiri. Ya udah nyari rumah sakit yang deket dan bisa periksa sore aja. Setelah nyari-nyari informasi, ternyata di rumah sakit swasta yang paling deket ama rumah ada poli mata. Sekalian nyari fasilitasnya apa aja dan biaya yang dibutuhkan berapa. Setelah mengantongi informasi, langsung daftar via online pagi harinya dan sore harinya langsung ke lokasi.

Ketemu dokter dan diperiksa. Karena rumah sakit kecil, yang meriksa dokternya langsung. I love it! Disuruh liat tulisan pada ngeblur semua, sampai dicobain berbagai lensa masih ngeblur. Tiba sesi konsultasi setelah pemeriksaan fisik. Kata Dokter, "Ini matanya ada silinder dan minusnya nambah jadi minus dua. Karena saya nggak punya alat yang buat ngukur silinder, jadi ini nanti saya kasih surat pengantar buat periksa ke optik ya. Nanti setelah dari optik, Ibu ke sini lagi bawa hasilnya, biar saya bisa resepkan untuk kacamatanya."

Saya, iya iya aja, sambil dalam hati mbatin, pantesan pusing mulu, minusnya nambah, langsung dua. Padahal sebelumnya 0,75 kalau nggak salah. Intinya naiknya banyak. Lalu, ditanya-tanya usia berapa dan apa kerjanya di depan komputer segala macem. Lalu, Dokter nanya, apa saya punya BPJS. Saya jawab, punya. Dokter dengan nada menyesel berkata, "Gitu tadi kok nggak pakek BPJS, Bu? Kami nerima rujukan BPJS kok."

Sejenak saya tercenung. Jadi, BPJS masih mengkover pemeriksaan mata? Lalu, saya jelaskan bagaimana proses ketika saya minta rujukan dan ditolak, hingga akhirnya memutuskan untuk periksa pakek jalur mandiri. Dokter dan Perawat seling lempar pandang, lalu kompak tersenyum, dan Dokter berkata, "Kok aneh? Mata masih ditanggung BPJS, Bu. Pasien saya rata-rata juga BPJS. Faskes satunya dimana?"

Saya pun menyebutkan nama faskes pertama saya. "Lho! Pasien saya ada yang dari sana juga lho. Dapat itu rujukan untuk operasi katarak. Katarak aja ditanggung apalagi yang cuman kacamata. Saran saya, Ibu balik aja ke faskesnya, minta rujukan. Sayang kalau nggak pakek BPJS, Bu. Karena nebus resep kacamata lumayan mahal. Ibu ikut BPJS mandiri apa dari pemerintah?"

Saya jawab, mandiri. "Nah, apalagi mandiri. Nggak papa, coba diperjuangkan hak Ibu. Harapan saya nanti Ibu balik sini udah bawa hasil cek mata silindernya dari optik dan udah bawa BPJS. Aneh aja mata udah nggak dikover BPJS. Saya bukan menjelekkan faskesnya ya, Bu. Tapi beneran, poli mata masih dikover sama BPJS. Sebenernya emang ada kasus kayak gini karena ulah oknum. Bisa jadi karena salah informasi juga, misalnya pada beberapa kasus nggak dikover. Tapi, kalau pemeriksaan dasar, masih dikover. Nanti, Ibu bilang aja kalau dapat informasi dari saya bahwa mata masih dikover sama BPJS. Coba diperjuangkan, sapa tahu masih rezeki. Kalau nggak, ya... ya udah nggak papa pakek umum. Yang penting Ibu udah berusaha memperjuangkan hak Ibu. Ya?" Dokter memberi saran.

Terharu rasanya diperhatikan sama dokter. "Ini kartu nama saya. Nanti kalau ada apa-apa, Ibu telpon aja nggak papa." Sebelum saya pergi, Dokter memberikan kartu nama. Makin terharu. Heuheuheu. Periksa ke rumah sakit ini habis... berapa ya waktu itu, sekitar 175 ribu kalau nggak salah ingat. Nggak dapat obat pun nggak dapat vitamin karena belum dapat resep juga.

Oya, pas di rumah sakit ketemu ama salah satu petugas di faskes pertama. Karena orangnya ramah, saya pun disapa, lalu kami ngobrol bentar. Saya jelaskan kalau barusan periksa mata dan bla bla bla. Petugas ini bilang, besok balik lagi aja, coba saya bantu. Makin semangat buat perjuangin hak. Malam harinya saya juga nyari informasi ke orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan dan ke teman yang sebelumnya ngurus periksa mata untuk ibunya yang sampai operasi.

Di faskes pertama tempat teman saya berobat nggak ada penolakan. Bahkan ditanya, mau ke rumah sakit mana. Pasien bebas memilih mau berobat rumah sakit mana. Lalu, berdasarkan informasi dari salah satu kenalan nakes yang kerja di faskes pertama, untuk faskes pertama hanya berhak ngasih rujukan sesuai permintaan pasien dan mengarahkan, yang punya hak mutlak nolak rujukan adalah rumah sakit.

Jujur setelah mendapatkan banyak masukan informasi, saya sempet emosi. Gini amat ya ulah oknum, sampai bikin orang yang istilahnya sakit dan butuh jadi susah mau berobat. Bahkan saya sampai kepikiran mau ganti fakses aja dan udah siapin pengajuan keluhan ke web BPJS seandainya besok nggak dapat rujukan.

Saya pun sempet nanya ke kenalan nakes yang kebetulan kerjaannya bagian mengurus BPJS. Sampai ditelpon sama mbaknya, buat kasih informasi yang jelas. Sebenarnya bukan tidak dikover, hanya saja sekarang sistemnya agak diperketat. Dari dulu sebenernya sistemnya udah meteran, jadi yang diutamakan yang paling deket ama faskes pertama. Trus yang kabupaten nggak bisa ke kota, kalau kasusnya nggak parah dan harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap. Cuman dulu lebih fleksibel, itu kenapa nggak dipersulit waktu periksa kedua ganti rumah sakit. Mbaknya bilang, mungkin pihak faskes pertama ini salah ngasih info ke pasien dengan bilang nggak dikover. Mbaknya pun menyarankan untuk coba diperjuangkan haknya.

Besoknya saya balik ke faskes pertama. Nemuin petugas yang kemarin sore ketemu di rumah sakit. Tapi, walau udah dibantuin masih harus nunggu dokter tugas hari itu. Saya pun manut. Di kantong udah bawa kartu nama dari dokter rumah sakit yang menyarankan saya minta BPJS. Dokter jaga hari itu beda ama hari sebelumnya waktu minta rujukan pertama. Saya jelaskan maksud kedatangan, kenapa saya balik yang atas saran dari dokter rumah sakit, termasuk kartu nama yang diberikan. Kalau dokter jaga hari itu nggak percaya, mau saya telponin dokter rumah sakitnya sesuai saran. Saya juga bilang, manut sesuai meteran harus dirujuknya ke mana. Walau nggak ke RS yang saya minta nggak papa. Manut peraturan aja lah.

Dokternya nanya, "Ke SMEC ya?" Lalu langsung dikasih rujukan. Merasa nggak enak juga sih, padahal saya udah bilang sesuai tunjukan fakses aja nggak papa. Saya pun berterima kasih, lalu pamit pergi. Alhamdulillah. Akhirnya dapat rujukan. Semisal nanti saya ditolak ama rumah sakitnya karena saya orang kabupaten tapi milih rumah sakit di kota ya pasrah. Balik lagi minta rujukan sesuai tunjukan. Katanya waktu dicek di komputer hasilnya merah, karena alasan itu pihak faskes pertama nggak mau ngasih rujukan sebelumnya. Padahal waktu itu jelas dibilang udah nggak dikover.

Akhirnya berangkat ke SMEC Malang pada hari Sabtu. Nggak banyak yang berubah. Begitu masuk cek suhu dulu dan harus pakek masker. Lalu, ambil nomor antrian yang bisa minta ke satpam yang jaga. Ngambilnya di mesin, jadi dibantuin satpam. Syaratnya nunjukin rujukan ama kartu BPJS aja. Alhamdulillah saya masih tercatat sebagai pasien. Sepi banget hari Sabtu siang, jadi prosesnya cepet. Setelah dipanggil ke loket, langsung masuk ke dalam untuk antri pemeriksaan.

Setelah pemeriksaan lengkap, dicobain lensa, nunggu ketemu dokter. Dokternya beda ama yang nanganin saya di tahun 2018. Tapi sama-sama ramah dan enak diajak ngobrol. Hasilnya, minus sama silinder nambah, tapi saraf mata masih baik, sehat. Karena saya pengen pakek softlens, sekalian nanya-nanya ke dokter. Katanya bisa pakek resep kacamata cuman kalau softlens nggak ada silindernya, hanya minus doang. Nggak papalah. Kan makeknya nggak tiap hari. Setelah dapat resep kacamata dan ngambil resep obat--dikasih vitamin buat dimakan, nggak dikasih obat tetes--langsung lanjut buat pengesahan resep biar dikover ama BPJS.

Beda ama tahun 2018, sekarang pengesahan resep bisa di SMEC langsung, di optiknya. Sayang optiknya belum kerja sama ama BPJS jadi nggak bisa klaim langsung. Tapi kalau mau beli kacamata di optiknya SMEC, ada diskon hingga 30% kalau nggak salah.

Pulangnya langsung nyari optik buat nebus resep dan klaim jatah dari BPJS. Karena lagi iritisasi alias pengiritan, saya ambil murni jatah BPJS. Nggak nambah apa-apa. Pertama dulu kan saya minta lensa yang anti-radiasi, jadi nambahnya lumayan waktu itu. Karena ini lagi masa paceklik, ya udah ambil sesuai jatah aja. Karena bosen ama frame kotak, saya nyari yang modelnya bulet. Entah kok tertarik sama model cat eye. Setelah nanya ama mas yang jaga dan dibilang itu juga oke, akhirnya pilih model cat eye dan nunggu kacamata jadi sekitar dua mingguan.



Setelah mendapat pesan yang memberi tahu bahwa kacamata udah jadi, langsung cus ambil. Pas dicobain, eh kok pusing. Tapi kata petugas optiknya, nggak papa, butuh penyesuaian. Oke lah, saya manut dan pulang. Di rumah coba saya pakek, tapi suer nggak enak banget. Kepala jadi sakit, mata kayak melotot hingga kerasa sakit. Tapi, saya masih percaya kalau itu proses penyesuaian. Karena efeknya yang aduhai, besoknya pas kerja saya nggak berani makek. Baru berani nyoba pas udah pulang dan stay di rumah. Efeknya bikin kepala pusing dan mata sakit lagi. Kalau dibuat duduk nggak masalah, buat jalan agak ngeganggu banget. Buat liat sekitar dalam posisi sejajar sesuai saran petugas optik, pandangan tetep nggak nyaman. Semua kayak jadi melengkung, kayak video nggak stabil trus distabilkan. Jadi aneh pokoknya. Tapi masih meyakinkan diri sendiri, Sabar ya, Kura. Masih penyesuaian.

Hari ketiga, saya kerja coba pakek kacamata mata baru. Dibuat jalan keluar, kena cahaya, makin nggak karuan rasanya. Nggak cuman pusing dan sakit di area kedua mata, malah ada mual. Lalu, vitamin yang biasa saya minum malam, saya minum pagi. Karena kan kata dokter buat ngebantu mata biar enakan. Habis minum vitamin, mual makin menjadi dan akhirnya, maaf, sampai muntah-muntah. Kepala sakit parah hingga akhirnya saya izin pulang. Di rumah, mata kalau dibuat melek makin mual dan pusing, akhirnya merem terus di tempat gelap. Baru kerasa enakan dan sakitnya reda. Bahkan saya sampai minum paracetamol untuk meredakan sakit kepala.

Setelah kepala agak mendingan, saya nyari informasi nanya Mbah Google. Wajar kalau efeknya sakit kepala, tapi kalau sampai mual dan muntah, harus dikonsultasikan ulang ke dokter. Nggak kebayang kalau dua minggu harus ngrasain efek kayak gitu dengan dalih penyesuaian. Akhirnya saya milih untuk periksa ulang. Siapa tahu ada kesalahan.

Lucu sebenernya. Sayang ndak bisa dipakek.


Saat periksa ulang, saya bawa kacamata barunya. Di loket ditanya kenapa kok balik lagi, setelah saya jelaskan, kacamata baru dan kacamata lama saya diminta untuk dicek. Setelah dicek, saya diminta menunggu untuk pemeriksaan ulang. Untuk pemeriksaan ulang ini di ruang dan alat yang berbeda dari pemeriksaan pertama. Trus dapat kacamata sampel, enak dipakeknya. Bahkan dipakek jalan bolak-balik yang jaraknya lumayan jauh, aman. Nggak ada pusing atau mual. Kedua mata juga nggak berasa melotot dan sakit. Hasil pemeriksaan juga sama ama sebelumnya.

Kacamata baru dicek lagi. Lalu sama mbak-mbak yang cek dijelasin kalau masalahnya bukan di hasil tes melainkan di kacamatanya. Ada perubahan titik fokus dan jarak kedua mata setelah dicek secara lebih teliti. Mungkin kesalahan terjadi saat proses pemotongan lensa, karena saya milih frame dengan model cat eye dan jenis frame-nya agak kaku. Intinya agak susah gitu. Saya disarankan untuk ganti frame aja, karena frame jenis yang saya pilih itu misal dibenahi pun susah. Mbaknya sempet nanya, apa sama petugas optik nggak dijelaskan kalau orang minus dan ada silinder nggak disarankan pakek frame dengan model aneh-aneh macem cat eye ini. Saya jawab, nggak.

Jadi baiknya untuk penderita mata minus dan silinder kalau milih frame yang simpel aja. Misal kotak ya kotak aja, bulet ya bulet aja. Mbaknya juga menyarankan nanti bawa balik aja ke optik, coba ditanyakan dan apakah optik-nya mau tanggung jawab. Lalu, saya diminta untuk duduk lagi, nunggu ketemu dokter.

Waktu ketemu dokter, saya diminta cek ulang kacamata baru. Walau saya udah bilang bahwa udah dicek dua kali, dokter minta saya bawa kacamata barunya ke mas-mas yang jaga di bilik sebelah kiri dari bilik saya sebelumnya diperiksa. Saya manut aja, yang penting masalahnya segera ketemu dan beres.

Sesuai permintaan dokter, masnya cek ulang kacamata baru milik saya. Lalu, memberi penjelasan kurang lebih sama kayak penjelasan mbak di bilik sebelah kanan. Malah lebih detail. Saya sampai diperiksa ulang dan hasilnya tetep sama; ada pergeseran titik fokus dan jarak antara kedua mata. Dijelaskan sama masnya kalau ada beberapa orang yang baik aja dengan pergeseran ini. Tapi, karena mata saya sensitif, saya nggak bisa nerima perbedaan itu walau cuman titik kecil. Masnya juga menyarankan ganti frame aja, tapi tetep suruh coba ke optik-nya, sapa tahu mau tanggung jawab.

Oya, yang bikin saya kaget juga waktu mbak dan masnya nanya soal resep kacamata sebelumnya. Karena resepnya diminta ama pihak optik, keduanya kaget. Katanya resep asli itu hak kita, pihak optik harusnya cuman minta fotokopian, bukan resep asli. Akhirnya saya minta tolong dibuatkan resep ulang, jadi semisal optik nggak mau tanggung jawab, saya bisa beli lagi dengan resep baru. Alhamdulillah dikasih.

Dari rumah sakit, balik ke optik buat menanyakan perihal kacamata. Tapi sesuai perkiraan mas petugas klinik ketika saya menyebutkan nama optik, nggak dapat ganti rugi. Malah dibikin ill feel sama pelayanan petugas yang jaga. Tanda dari klinik di kacamata jadi hilang dan perhitungan jadi sesuai ama hitungan mereka. Waktu saya protes, mereka masih ngotot bahwa nggak ada tanda yang dihilangkan. Padahal sebelumnya ada tanda merah dan kuning. Semuanya ilang. Setelah saya cek ulasannya di Google, ternyata bukan hanya saya yang mengalami hal kayak gitu. Ya udahlah, terima nasib. Toh yang milih modelnya juga saya, jadi ya udah tanggung risikonya.

Akhirnya balik ke optik langganan, Maya Optik yang ada di Desa Belung. Milih frame sesuai saran mbak dan mas petugas klinik, model simpel. Tetep milih bulet karena bosen kotak. Akhirnya dapat dengan lensa yang anti-radiasi dan berubah warna jadi gelap kalau kena sinar matahari. Total seharga Rp. 650.000,-. Di optik sebelumnya saya sempet nanya, kalau bikin baru dengan spesifikasi yang sama seperti tersebut di atas harga berapa. Masih sejuta lebih. Alhamdulillah dapat harga lebih murah, jadinya cepet, cuman tiga hari, dan dipakek langsung enak, nggak bikin pusing, mata sakit, dan mual.


Cobain frame di Maya Optik

Kacamata pas udah jadi

Alhamdulillah perjalanan panjang ganti kacamata kelar juga. Niatnya pengen dapat keringanan, tapi karena kesalahan tetep harus keluar duit sendiri. Oya, Rara juga ikut periksa. Hasilnya mengejutkan karena minusnya langsung tinggi. Awalnya saya pikir karena efek keseringan main hape, ternyata kata dokter bawaan orok. Harusnya dia pakek kacamata dari SD. Dia emang ngeluh dari SD kalau liat papan tulis aja burem, tapi kami kurang tanggep. Kondisi diperparah karena hape juga. Semoga apa yang saya bagi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Mohon maaf jika ada salah kata. Terima kasih.

You Might Also Like

0 komentar

Total Pageviews