Akhirnya Bisa Mudik Ke Lamongan!

05:07

 Mudik 2023 - Sendang, Lamongan



Subhanallah. Alhamdulillah. Akhirnya bisa mudik ke Lamongan setelah... sepuluh tahun lamanya. Beneran sepuluh tahun kah?? Diinget-inget kayaknya terakhir mudik ke Lamongan tahun 2013. Apa salah ya? Sehabis itu sakit GERD dari 2014 akhir dan proses membaik sampai 2016. Trus tahun 2017 ziarah wali lima ke Sunan Drajat juga, tapi nggak bisa mampir ke rumah dulur-dulur karena perginya rombongan. Ziarah wali lagi tahun 2019 dan lagi-lagi nggak bisa mampir ke kampung halaman. Ini bener nggak sih? Ingatan udah random. Heuheuheu. Sebentar intip album di Facebook dulu.

Setelah menelusuri album-album di Facebook, ada foto mudik ke Lamongan di tahun 2015. Jika ada pergi setelah tahun 2015, biasanya ada jejak fotonya. Tapi, seingat saya, sebelum ke Yogyakarta di tahun 2018 juga sempet mudik ke Lamongan. Sepertinya itu terakhir kali mudik dan jadi mudik terakhir dengan almarhumah nenek dari bapak. Setelah itu terus merencanakan mudik tapi ada halangan terus. Di tahun 2020 rencana udah mateng, tapi karena ada pandemi jadi tertunda. Alhamdulillah di tahun 2023 terwujud bisa mudik ke Lamongan.

Karena udah kangen banget ama kampung halaman nenek dari bapak, jadi semangat banget prepare mudiknya. Walau nenek saya besar, menua, dan meninggal di Malang, beliau asalnya dari Sendang, Lamongan. Pertama kali dikenalin, diajak mudik ke Sendang waktu saya masih sekolah, SMP apa SMA gitu. Nggak nyangka aja kalau keluarga bapak asalnya dari sana, kirain Malang asli, ternyata pendatang juga. Hehehe. Tapi almarhumah nenek kelahiran Malang, bapak pun kelahiran Malang.

Pertama kali menginjakkan kaki di Sendang, waktu pertama dikenalin ke Sendang Agung (Sendang Isor) yang merupakan keluarga inti dari nenek, kagum banget karena rumahnya itu pada kayak istana. Kayak di sinetron-sinetron yang rumah orang kaya gitu, gede dan apik banget. Dulu sempet kepikiran, "Bapakku turunan orang kaya?" Wkwkwk. Syok lagi pas dikasih tahu kalau kerjaan keluarga besar di sana tuh tani, tapi tani emas. Tani emas?? Pantesan pada kaya. Petani (nyari emas), perajin, dan penjual. Gimana nggak kaya tuh, semua dikelola sendiri.

Selesai silaturahmi dengan sanak saudara di Sendang Agung, lanjut kami diajak ke Sendang Duwur. Lho?? Masih ada lagi?? Sanak saudara di Sendang Duwur dari almarhum kakek, abangnya almarhumah nenek dari bapak. Kira-kira begitulah silsilahnya.

Sanak saudara di Sendang Duwur ternyata lebih banyak dari Sendang Agung. Suasananya mengingatkan sama kampung sendiri di Malang karena rumah sanak saudara masih satu kampung dan berdekatan. Kalau keliling buat silaturahmi tinggal jalan kaki. Terkesima lagi karena rumah salah satu saudara deket banget sama makam Raden Rahmad (Raden Noer Rahma - Sunan Sendang). Selesai silaturahmi, diajak nyekar ke makam Raden Rahmad. Sejak saat itu, dibuat jatuh hati dan selalu merindukan kampung halaman almarhumah nenek.


Alhamdulillah tahun ini dikabulkan sama Gusti Allah, diberangkatkan mudik ke Lamongan. Biasanya kalau mudik, saya selalu duduk di bangku tengah dalam mobil bersama nenek, tahun ini beda karena nenek udah nggak ada. Seneng iya bisa mudik, tapi ada nyesek karena dalam perjalanan keinget kenangan mudik sama almarhumah nenek.

Karena saya sering kena mabuk darat, dulu kalau mudik selalu lebih banyak tidur karena efek obat, tapi selalu terbangun di titik favorit karena di sepanjang jalan itu, di sisi kiri bisa lihat hamparan bunga lotus liar yang berbunga indah. Dulu tiap kali lewat, ingin rasanya nyuruh mobil berhenti buat ambil bunganya. Saking cantiknya si lotus berwarna pink. Kalau nggak salah ingat, melewati hamparan desa garam juga.

Perjalanan mudik kemarin, saya pun kembali dibuat tumbang. Padahal biasanya kena AC fine aja, tapi nggak dengan kemarin. Setelah minum Antangin, akhirnya saya tidur sepanjang perjalanan. Tahu-tahu udah sampai di jalan yang kanan kirinya hutan jati. Agak nyesek sih, karena sejak ada tol, pantang tidur saat perjalanan karena lewat jalan tol menjadi healing tersendiri buat saya. Foto ini lupa diambil di tol mana, yang pasti sebelum saya tepar. Heuheuheu.


Setelah melewati hutan jati, akan melewati perkebunan yang didominasi pohon lontar. Aaa, akhirnya sudah dekat. Sayangnya saya nggak sempet ambil fotonya karena kondisi belum 100% membaik. Lalu melewati WBL--yang sampai mudik kemarin pun belum sempat kami berkunjung ke sana. Lamongan semakin apik berbenah sebagai kawasan wisata. Dulu banget pernah pas mudik mampir ke Gua Maharani dan Tanjung Kodok yang sekarang jadi Wisata Bahari Lamongan (WBL). Setelah dibangun, malah belum pernah berkunjung.

Setelah melewati sepanjang jalan yang mepet pantai--ini termasuk hal yang bikin saya ternggumun-nggumun ketika pertama kali diajak mudik, kok bisa ya pantainya mepet jalan raya? Di pantai selatan Malang nggak bisa kayak gitu--sampailah kami di jalan... apa ya nyebutnya, kampung? Intinya jalannya nggak selebar jalan utama dan agak sempit. View yang khas banget di pinggir jalan ini adalah bukit kapur. Bukit kapurnya ditambang, jadi bentuknya cantik-cantik serem. Ini fotonya ngambil dari dalam mobil yang sedang jalan, jadi nggak begitu pas di bukit kapur yang keliatan dari jalan. Pas pulang juga nggak berhenti buat ambil foto, padahal dibonceng motor lho. Heuheuheu.

Terakhir mudik udah dibikin kaget ama adanya bangunan di area bukit kapur, kemarin makin kaget lagi karena ada kafe lho di sana. Luas banget pula areanya. Jadi penasaran! Keren pastinya karena kafe berada di atas bukit kapur.


Tibalah kami di Sendang Nduwur. Ya Allah, rasanya lega, bahagia dan terharu. Langsung menuju rumah saudara yang lokasinya tepat di samping makam Raden Rahmad. Menyenangkan sekali bisa bersua dengan sanak saudara, menyambung silaturahmi, saling bercerita dan melepas kangen. Perjalanan yang kami tempuh selama 5 jam walau udah lewat tol. Sempat terjebak macet setelah keluar tol terakhir karena jalannya dibenahi.

Karena udah masuk waktu zuhur, sebelum lanjut silaturahmi kami memutuskan untuk salat zuhur dahulu. Kebetulan di rumah salah satu saudara deket sama musala, salat lah kami di sana. Sayang saya nggak sempet mengabadikan karena nggak bawa hape pas ke musala. Dibilang musala, uniknya tuh bangunannya gede hampir mirip masjid. Gede dan mewah kayak masjid, beda ama musala di tempat tinggal saya. Trus di dalamnya los, luas, nggak ada kelambu pemisah. Kata saudara, musala tersebut adalah musala khusus untuk perempuan.

Saya ingat salah satu cerita, katanya di Sendang tuh, dulu ya ini, cewek nggak boleh masuk masjid. Mungkin karena alasan itu jadi dibangun musala khusus jamaah perempuan. Keren banget! Tapi, kemarin nanya, apa bener perempuan masih belum boleh masuk masjid. Katanya, udah boleh. Mungkin seiring waktu berjalan, peraturan diubah.

Fasilitas di musalanya keren banget. Selain kamar mandi dan tempat wudu, disediakan mukena banyak. Mukenanya bersih-bersih dan nggak bau. Trus disediakan tisu, jadi misal habis wudu mau ngeringin badan, bisa pakek tisu. Melimpah pula tisunya. Keren! Trus kalau nggak salah liat, ada disediakan minuman mineral gelasan juga.

Oya, di Sendang itu model rumah aslinya unik. Ini bego juga saya nggak ambil fotonya. Di Sendang Nduwur, ada dua saudara yang masih mempertahankan model asli dari rumah khas Sendang. Tembok terbuat dari kayu jati dan yang membedakan ama rumah di daerah lain adalah modelnya. Unik banget. Nggak bisa jelasin ama kata-kata gimana deskripsi rumahnya. Heuheuheu.

Selesai salat zuhur, kami ziarah ke makam Raden Rahmad sebelum terlebih dahulu sebelum melanjutkan silaturahmi. Sebelum ziarah saya nanya ke sodara, sekarang di makam boleh ambil foto kah? Karena liat Google Maps kok banyak yang posting foto. Katanya, udah boleh. Udah zamannya, jadi peraturan mengikuti perkembangan zaman. Dahulu nggak boleh ambil foto di area makam. Jadi kalau mau foto, ambil di depan pintu masuk.


Pas masuk makam, campur aduk lagi rasanya. Seneng bisa kembali ziarah dan sedih karena keinget kenangan ziarah terakhir sama almarhumah nenek. Di makam Raden Rahmad ada tempat buat ngaso untuk peziarah tepat setelah pintu masuk. Karena lokasinya di atas bukit, jadi pas di makam bisa melihat indahnya salah satu sisi Lamongan.


Salah satu keunikan di makam Raden Rahmad adalah adanya kolam kecil atau sumber air yang muncul di tengah bebatuan. Bagian ini juga sudah dibangun. Dulu nggak ada penutupnya, sekarang udah dikasih penutup. Cekungannya kecil dan jumlah airnya tetap walau hujan dan diambil peziarah yang tak terhitung jumlahnya, debit air tetep sama, nggak berubah. Kalau dulu harus bawa botol sendiri misal ingin bawa airnya. Sekarang udah disediakan, tinggal ambil kalau mau bawa.


Di samping makam persis ada masjid yang memiliki kisah unik. Konon katanya masjid Sendang Duwur adalah pemberian dari Mbok Rondo Mantingan di Jawa Tengah kepada Raden Rahmad (Sunan Sendang). Proses pemindahan masjid hanya membutuhkan waktu satu malam saja. Wow! Amazing banget ya! Di masjid ini dulu perempuan nggak boleh masuk.


Di sekitar area makam udah ada fasilitas seperti tempat parkir, kamar mandi, dan toilet. Peziarah pun mulai ramai. Karena kami punya saudara orang asli Sendang Duwur, kalau ziarah selalu diantar dan dimudahkan. Alhamdulillah. Hehehe. Tapi sepertinya kalau buat peziarah, tinggal isi buku tamu aja deh. Yang mau ngisi infak seikhlasnya monggo, nggak juga nggak papa.

Selesai ziarah, lanjut silaturahmi ke rumah sanak saudara di Sendang Duwur. Menyenangkan sekali blusukan di kampung orang. Hehehe. Sajian khas Sendang pun banyak disajikan, mulai dari jenang, buah siwalan (buah lontar), legen dan lain sebagainya. Kami juga dijamu dengan berbagai jenis masakan yang memanjakan lidah yang lagi-lagi tidak sempat diabadikan. Eh, ada satu, siwalan. Ini enaaak banget. Fresh baru dipecah, langsung disajikan. Legennya juga enak banget, walau saya nggak ikut minum. Hehehe. Semua pada bilang enak, apalagi yang disajikan sama es. Pernah nyoba dan emang enak, tapi entah kenapa kurang pas aja di lidah saya. Jadi, lebih milih es degannya daripada es legen.


Sore harinya, dalam perjalanan pulang diajak naik motor sama salah satu kakak perempuan di Sendang. Diajak mampir ke Tebing Cafe. Menyenangkan sekali menikmati indahnya pemandangan sore dari atas dua roda. I wish next time bisa nginep di Sendang, menikmati pagi dan senja di sana. Aamiin. Ini tuh keinginan udah lama banget, tapi belum keturutan. Heuheuheu.


Seperti namanya, Tebing Cafe merupakan kafe yang berada di atas tebing kapur. Ada... dua bangunan, eh tiga apa ya. Outdoor dan indoor. Karena ke sana pas ada event dari sebuah komunitas, jadi kami hanya berkeliling, tidak duduk untuk sekadar ngopi. View-nya asli keren banget! Banyak spot foto yang keren. Dari atas Tebing Cafe bisa liat daratan dan laut yang terlihat sejajar. Kata Kakak saya, Tebing Cafe tuh enaknya dikunjungi pas senja atau malam. Pasti seru banget menikmati senja dari kafe, trus kalau malam, kerlap-kerlip lampu kota pasti terlihat cantik. Kata Kakak saya lagi, kalau malam view-nya kayak di Bukit Bintang Yogyakarta. Makin pengen liat. Heuheuheu. Semoga next time bisa nginep dan menikmati indahnya pemandangan dari Tebing Cafe. Aamiin.


Dari Tebing Cafe, diajak turun ke Pantai Lorena. Ini pantai yang sebelumnya saya sebut di atas--pantai yang mepet jalan raya. Oya, karena menikmati pemandangan bukit kapur dari atas motor, rasanya lebih menyenangkan. Tidak ada HTM ke Pantai Lorena. Di tepi jalan banyak orang jualan, jadi bisa parkir di sana, kayaknya HTM nya ya bayar parkir doang ini. Kalau mobil, ada disediakan area parkir. Nggak tahu tarifnya berapa karena dibayarin Kakak dari Sendang.


Serunya di sini bisa ngopi sambil menikmati musik alami; deburan ombak pantai. Bagi anak-anak, ada wisata main pasir dan mencari kerang. Karena kami datang sore, air lautnya udah pasang, jadi nggak bisa main pasir atau nyari kerang. Ombak di Pantai Lorena bersabahat banget, jadi anak kecil aman main di pantai. Tapi, harus tetep dalam pengawasan ya. Pengennya stay untuk menikmati sunset, tapi karena harus segera balik Malang, kami nggak bisa lama-lama di Pantai Lorena.

Karena udah di Lamongan dan masih ada waktu, kami lanjut ziarah ke makam Sunan Drajat. Lokasinya deket banget dari Sendang. Terakhir ziarah ke Sunan Drajat tahun 2019. Udah banyak perubahan, yang dulu dibangun, udah pada jadi dan makin cakep. Pintu masuknya juga udah diganti. Walau hari Minggu, yang ziarah nggak seramai sebelumnya.


Setelah ziarah, nggak lupa mampir ke Museum Sunan Drajat. Ada banyak benda bersejarah yang diabadikan di dalam museum.


Dari museum kembali ke parkiran melewati pasar. Pasarnya juga nggak seramai dulu. Selain baju-baju khas Sunan Drajat, ada juga buah sawo yang dijual. Sawo khas Sendang Lamongan emang enak. Buahnya gede dan rasanya manis. Tapi saya lebih penasaran sama rasa gembili dan fokus mencarinya di pasar. Ada pisang merah juga lho! Tapi begonya napa saya nggak beli. Padahal di Malang nggak ada. Hiks! Karena nggak ada gembili, jadilah beli talas mini ini. Nggak tahu ini talas apa ya, kalau kata Google ini talas jepang. Kata ibu yang jualan, gembilinya lagi nggak musim.


Senja di Sunan Drajat cakep banget ya. Biasanya kalau ikut rombongan ziarah wali lima, sampai Sunan Drajat siang hari. Alhamdulillah bisa menikmati senja di plataran parkir sambil ngemilin talas hangat.


Karena dekat, sekitar 10 menit dari Sunan Drajat, lanjut ziarah ke makam Syekh Maulana Ishaq. Pertama kali ziarah ke sini kalau nggak salah tahun 2019. Keren banget! Lokasi makam di pesisir pantai. Udah banyak yang berubah. Makin cakep. Bangunan yang sebelumnya belum jadi pun mulai terselesaikan. Katanya bakalan dijadikan masjid dan tempat nginep atau istirahat bagi peziarah. Di makam Syekh Maulana Ishaq ramai sekali pengunjungnya.


Karena hari sudah gelap, setelah ziarah nggak main dulu di tepi pantai atau berburu ikan asap. Ikan asap di sini tuh gede-gede dan enak. Tapi katanya kalau udah malem gitu biasanya udah banyak yang habis dan misal ada tinggal yang kecil.

Langsung balik Malang dan di titik yang sebelumnya macet, masih macet. Nyampek rumah pukul dua belas malam. Alhamdulillah perjalanan lancar dari berangkat hingga pulang lagi.

Dapat oleh-oleh banyak dari Sendang. Dari bahan makanan sampai camilan. Yang kefoto dan dikontenin ada tiga ini; kue kaoya kacang hijau, buah siwalan dan legen. Kue koya kacang hijau rasanya hampir sama ama kue satru khas Pasuruan.


And this is the most happy moment at Lebaran 2023. Subhanallah. Alhamdulillah banget punya saudara-saudara yang walau terpisah jarak jauh tapi tetep support apa pun yang saya lakukan. Diajak keliling silaturahmi, dijamu dengan berbagai hidangan. Di makam ditemenin setelah ziarah dibebasin ambil foto dan video sepuasnya. Diajak naik motor dan mampir ke Tebing Cafe dan Pantai Lorena biar bisa bikin konten. Dikasih oleh-oleh bejibun. Matur nuwun untuk semuanya. Nulis ini jadi nangis. Heuheuheu. Semoga nanti diberi kesempatan, diwujudkan keinginan mudik ke Sendang dan nginep. Aamiin.


Oya, momen yang juga menghangatkan hati adalah saat azan akan berkumandang, tradisi memukul beduk di masjid masih dijalankan di Sendang Duwur. Di tempat tinggal saya udah nggak ada tradisi pukul beduk sebelum azan, jadi pas denger suara beduk sebelum azan, rasanya menyenangkan sekali.

Eh kalau nggak nginep mudik apa sambang ya istilahnya? Mudik sehari gitu deh. Hehehe. Sekian cerita mudik ke Lamongan 2023. Mohon maaf jika salah kata. Terima kasih.

You Might Also Like

0 komentar

Total Pageviews