Teror Di Atap Markas Sarang Clover
04:58Suara Ketukan Beruntun Di Pintu Loteng Markas Sarang Clover
Sarang Clover tanpa cerita creepy tuh kayak sayur tanpa garam. Hambar. Hmm, sini saya jitak palanya yang ngomong kayak gini. Hiks! Sampai detik ini saya pun masih bertanya-tanya, kenapa sih markas Sarang Clover masih aja dihampiri ama hal-hal creepy. Padahal Njung Beb udah amat jarang sekali pakek banget ndekem di markas. Sampai ada yang komentar gini, mungkin markas disamperin hal creepy karena kalian arep-arep (mengharap), biar ada yang bisa diceritain. Woy! Mana ada orang arep-arep, berharap ngalamin kisah seram?? Like a normal people, saya pun ngarepnya yang happy happy aja, nggak usah yang sad apalagi creepy. Kalau pengen share tentang cerita creepy, nggak usah pengalaman sendiri juga bisa.
Setelah teror-teror yang sempat saya bagikan di tahun 2021--yang nggak semuanya diceritakan karena nggak boleh--di tahun 2022 ini markas kembali disamperin ama creepy story alias cerita seram. Sebelum lanjut, yang mau baca creepy story-nya Sarang Clover bisa di baca di blog lama: Bilik shytUrtle dan di sini ya. Atau kalau mau beli bukunya yang berjudul AWAKE juga bisa. Langsung hubungi saya via Facebook, Twitter atau Instagram: @shyturtle23.
Oke! Lanjut bahas creepy story. Kejadiannya kami alami pada hari Sabtu, 19 Maret 2022 di markas besar Sarang Clover. Hari itu saya di markas berdua saja sama Rara karena semua pada ikut wisata rohani ziarah ke wali lima. Saya pikir fine lah berdua ama Rara. Kalau pas absen dan harus jaga markas, saya biasa minta ditemenin Rama. Khawatir kalau tetiba malam-malam listrik padam kayak pas ditinggal ke Madura atau ada orang bertamu. Kan ngeri! Tapi karena malam itu Rara juga absen, jadilah nggak papa berdua aja jaga markas.
Kami sepakat kalau ada yang ketok pintu nggak bukain. Muehehehe. Kebiasaan kalau di rumah sendirian ini mah. Karena markas lagi sepi, habis magrib saya sempet bikin dua video. Lalu, sebelum pukul sembilan malam membereskan semua kepentingan yang butuh keluar ke dapur dan mengunci pintu lalu berdiam di kamar. Saya nanya ke Rara, mau tidur bareng apa sendiri-sendiri. Rara milih, tidur sendiri-sendiri aja tapi request lampu tengah ama lampu ruang belakang jangan dimatiin biar kalau kebelet pipis nggak takut ke kamar mandi sendirian. Okelah. Mungkin doi trauma pas kebelet pipis trus dianterin Doppelgänger-nya Ibu. Ngeri juga pas keinget cerita itu.
Pas kami makan malam bareng habis Magrib, sempet ada yang ketok-ketok pintu--manusia ini pastinya--lalu saya kembali membagi salah satu keinginan saya yang belum terwujud yaitu bangun pagar untuk markas. Karena kadang tengah malam pun ada yang bertamu dan itu sangat mengganggu. Saya bilang ke Rara, seenggaknya tingginya satu meter lah, biar zombie nggak bisa naik. Rara langsung ngegas negur. Serem berdua di rumah bahas zombie. Heuheuheu.
Selesai salat Isya, Rara masuk ke kamarnya, saya diem di dalam tempurung kura-kura, tapi pintunya belum saya tutup. Kalau nggak ditutup itu nggak bisa tidur, kalau ditutup kepikiran Rara. Karena orang tua dalam perjalanan juga, jadi klop deh bikin insomnia. Akhirnya ya udah melek aja nggak papa. Toh besok hari Minggu dan kegiatan membabu ria udah saya kelarin Sabtu sore. Jadi nyantai, nggak papa kalau ngebangke seharian.
Makin malem, perasaan mulai nggak enak. Padahal kondisi di luar lagi rame. Sepertinya mas-mas yang piket jaga di IGD lagi pada nongkrong depan IGD dan lagi pada bercanda. Tapi suasana di markas udah mulai nggak enak aja gitu rasanya. Sebisa mungkin saya menjaga wudu. Kalau batal, wudu lagi. Jadi siaga dan was-was.
Lewat tengah malam, niatnya mau bobok sebentar. Baru juga naruh tasbih yang sebelumnya dibuat wirid--ini yang bikin tenang--tiba-tiba terdengar bunyi ketukan. Menajamkan telinga untuk mengkap bunyi apa sih itu. Oh, ini kayak bunyi cecak kalau lagi entah ngapain di rak belakang. Jadi kayak ketok-ketok gitu emang. Trus, keinget tokek yang masuk ke musala markas dan belum ketangkep. Bunyi ketukannya masih terus berlanjut. Rara sampai kirim pesan via WhatsApp, mulai merasa nggak nyaman ama suara ketukan itu. Karena keinget tokek dan suara ketukan lebih keras dari biasanya yang cecak lakukan, dengan pedenya saya nyebut, ah ini pasti tokek di musala.
Karena nggak ada alat yang bisa buat nyergap--karena suaranya annoying banget, saya keluar kamar niat buat nangkep entah itu cecak apa tokek--akhirnya saya bawa tas kura-kura punya Gembul sebagai senjata. Cukup aman lah buat nyergap tokek, pikir saya penuh percaya diri. Pelan-pelan saya jalan ke belakang, mengendap-endap. Rara ikutan keluar kamar dan mengendap-endap di belakang saya menuju ruang belakang. Beneran ada cecak gede banget di meja putih yang ada di ruang belakang. Sebelum sempet ngelempar tas kura-kura punya Gembul, cecaknya udah kabur duluan.
Lega deh. Suara yang mengganggu itu akhirnya pergi. Saya masih di ruang belakang ama Rara, bahas si cecak yang ukurannya gede banget, nggak kayak cecak biasanya. Penasaran, saya masih mencari-cari cecak itu sampai nengok ke bawah meja. Saat saya ama Rara ngobrol, kedengeran lagi suara ketok-ketoknya. Kami kompak terdiam dan menajamkan telinga. Mencari sumber suara sebenarnya dari mana.
"Dari atap, Ma!" Rara lebih dulu menyadari sumber suara. Posisi dia berdiri emang di bawah tangga. Suara ketukan masih terus terdengar. Malah intesitasnya makin rapat dan cepat, kayak nggak ada jeda.
"Eh iya dari atap. Tokek kali." Saya masih santai sambil mengingat-ingat posisi bangunan kecil di atap yang menaungi tangga. Baru inget kalau bagian atasnya--penutup bagian atas--udah bukan seng lagi, tapi kondek yang semisal diketok-ketok nggak bakalan sekeras itu bunyinya kecuali diketoknya pakek alat.
"Eh iya, atap udah bukan seng ya. Jadi, itu dipintu dong." Saya mengeluarkan isi kepala. Rara mulai panik karena takut. "Tokek kali. Bisa aja kan dia nempel di pintu dan bikin bunyi kayak gitu."
Posisi pintu tepat berada di atas kepala Rara dan bunyi ketukan terdengar semakin keras dan cepat. Membuat Rara semakin ketakutan. Melihat Rara ketakutan sampai hampir nangis, badan saya mendadak jadi panas dingin, otak kayak macet, ga tau harus ngapain. Tapi, masih berusaha menenangkan Rara dan ngajak dia masuk ke dalam tempurung kura-kura. Di situ kedua mata Rara udah berkaca-kaca, doi terus merengek karena ketakutan. Saya makin blank, jadi ikutan panik. APA YANG HARUS AKU LAKUKAN?!! Tapi nggak ada jawaban. Badan yang udah panas dingin, jadi gemeteran. Nyebelin!
Mungkin karena liat saya diem kayak orang bego dan Rara udah di puncak ketakutannya, doi telpon bundanya. Untung bundanya belum tidur. Baru deh kepikiran buat menghubungi Tunjung. Untungnya Njung Beb belum tidur juga. Anak ini mah kalau malem perasaan kagak pernah tidur. Saya bilang ke Njung Beb kalau ada suara aneh dari atap markas. Momen nyebelinnya, Njung Beb malah bilang, "Coba sini mana suaranya, aku pengen denger."
Bocah iki piye tho? Wong wes adem panas keweden, malah disuruh kasih denger suaranya gimana. Mau nggak mau saya keluar, mendekat ke sumber suara biar Njung Beb bisa denger. Karena posisi pas telepon itu saya ama Rara udah di dalam tempurung kura-kura. Tapi kata Njung Beb, nggak kedengeran apa-apa. Mau naik beberapa tangga, dilarang ama Njung Beb. Akhirnya balik masuk ke dalam tempurung kura-kura, sambil terus nanya ke Tunjung, aku harus ngapain.
"Coba deh kamu ke ruang tengah dan tepuk tangan sebanyak tiga kali." Pinta Tunjung.
Ha?? Tepuk tangan?? Tapi, saya manut aja. Balik ke ruang tengah, lalu tepuk tangan sebanyak tiga kali. Rara di dalam tempurung kura-kura diem. Saya yang masih di ruang tengah juga diem, menajamkan telinga. Mencoba menangkap bunyi apa pun itu. Terdengar suara orang berdecak, "Ck ck ck," beberapa saat setelah saya tepuk tangan, lalu hening. Setelah menunggu beberapa saat, saya berbisik, nanya ke Njung Beb via telepon, apa udah aman. Seketika suara mas-mas yang lagi bercanda di depan IGD kedengeran lagi, padahal sebelumnya kayak hilang. Saya menengok jam di dinding ruang tengah menunjukkan sudah lewat tengah malam, lalu kembali ke dalam tempurung kura-kura.
Rara akhirnya pindah, ikutan tidur dalam tempurung kura-kura. Baru pindah, langsung tertidur. Saya ditemani Njung Beb lewat telepon sampai pukul satu malam. Njung Beb mau ke markas, tapi saya larang. Kasihan, masak tengah malam jalan ke markas. Toh suara ketukan udah hilang. Selesai ngobrol panjang lebar ama Njung Beb via telepon, saya berusaha tidur tapi nggak bisa. Auto mode siaga. Khawatir kalau pas ortu dateng dan ketok pintu, tapi saya nggak denger. Trus habis liat jam digital di hape yang menunjukkan pukul 02.15, saya ketiduran. Pukul setengah tiga, ponsel bergetar-getar, ternyata ibu sama bapak udah nunggu di depan pintu. Selesai membuka pintu, masih sempet ngobrol ama ibu dan bapak, lalu tertidur dan bangun pukul setengah tujuh pagi. Ngebo bener, Kura!
Hari Senin Njung Beb nyamperin ke markas. Saya langsung nagih janji dia yang mau ngasih gambaran visual yang mirip ama makhluk yang ngetok-ngetok pintu atap markas pada hari Sabtu tengah malam. Waktu dikirimi gambarnya, saya kaget dong! Katanya kurang lebih mirip kayak di gambar ini. Ukuran tubuhnya kira-kira satu meter, gigi penuh taring, ada tanduknya, kuku-kukunya juga panjang.
Saya penasaran dong, itu makhluk ngapain mampir ke markas. Pakek acara ketok pintu jelang tengah malam pula. Menurut Njung Beb, sebenernya itu makhluk udah beberapa hari wara-wiri di sekitar markas. Mau masuk tapi nggak bisa. Mungkin karena malam itu dia tahu hanya ada kami berdua, mulai dah usil dia. Dan karena tahu Rara ketakutan yang akhirnya nular ke saya, makin menjadi dia usilnya. Makanya Njung Beb sampai niat mau ke markas malam itu juga kalau habis tepuk tangan tiga kali, makhluk itu nggak hilang.
Tepuk tangan tiga kali adalah cara untuk mengusir makhluk halus. Jadi keinget ama cerita salah satu teman saya, termasuk cerita kenangan masa kecil dia yang mirip ama kenangan saya sama almarhumah Nenek saat bulan Suro yang sebelumnya sudah saya bagi di sini. Salah satu teman saya pernah melihat mendiang ibunya tepuk tangan sebanyak tiga kali usai terdengar ketukan pintu di tengah malam. Merinding dan ngeri waktu mengalami kejadian itu sendiri.
Kejadiannya kurang lebih mirip ama teror Werewolf yang juga berada di atas markas Sarang Clover. Oya, pasca kejadian, sebelum tepar duluan, Rara sempet nanya, waktu saya ditinggal ke Madura dulu dan di markas ama Rama apa nggak ngalamin kejadian kayak gitu. Alhamdulillah, nggak. Biasanya selalu aman sejahtera sentosa, makanya pas kejadian sempet kaget. Waktu saya nanya Njung Beb itu makhluk main ke markas atas kemauan sendiri atau atas perintah, Njung Beb senyum doang. Baiklah! Rahasia. Kode etik perdukunan, kalau istilahnya Njung Beb. Semoga berikutnya nggak ada teror lagi di markas. Aamiin.
0 komentar