Diary #DiRumahAja - Berjuang Sesuai Peran

23:39

Diary #DiRumahAja - Berjuang Sesuai Peran



Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Pun demikian dalam hal perang melawan corona. Semua punya cara masing-masing, cara yang berbeda, tapi tujuannya sama yaitu perang melawan corona.

Welcome to my curious way!

Apa kabar shi-gUi? Semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, diberi kelimpahan berkah berupa kesehatan dan kebahagiaan. Aamiin....

Ini adalah catatan yang seharusnya saya pos pada masa PSBB dulu. Tapi karena ada kesibukan mengiktuti dua event lomba menulis, jadi tertunda.

Wabah ini menjadi masalah dan tanggung jawab semua orang di negeri ini. Stop saling menyalahkan! Mari saling membahu dan bekerja sama untuk berperang melawan wabah corona. Biar tenaga kesehatan yang berada di barisan paling depan dalam perang ini. Lalu bilamana ada yang turut membantu dengan cara mereka sendiri, ya biarkan! Jangan diolok dengan dalih syirik, nggak masuk akal, di luar nalar, nggak ada hubungannya sama medis, bla bla bla.


Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Pun demikian dalam hal perang melawan corona. Semua punya cara masing-masing, cara yang berbeda, tapi tujuannya sama yaitu perang melawan corona.

Bukannya dalam perang memang selalu begitu? Ada yang maju ke medan perang dengan menggunakan pedang, ada yang maju bersenjatakan tombak, panah, keris, bambu runcing, dan masih banyak lagi. Masing-masing punya metode, masing-masing punya cara. Yang penting tujuannya sama. Ya udah lah. Ndak usah saling hina. Mari jalan berdampingan aja. Turut berperang dengan cara masing-masing. Nggak usah merasa paling unggul. Nggak usah merasa paling bener. Pejuang doa ya kencengin doanya. Pejuang kemenyan ya silahlan teruskan usahanya. Pejuang rebahan (seperti saya) yang tetep diam di rumah ya mari lanjutkan. Mari berjuang bersama dengan jalan dan cara masing-masing.

Copas dari diary sebelumnya. Hehehe. Ini mau bahas apa tho sebenarnya? Yang pasti salah satu cerita menarik di tengah wabah.

Dalam bahasa Jawa, wabah disebut dengan pagebluk. Peristiwa ini pada zaman dahulu pernah beberapa kali terjadi. Di desa tempat tinggal kami pun pernah dilanda pagebluk. Menurut Ibu, dulu pernah terjadi pagebluk berupa orang tiba-tiba jatuh sakit di malam hari dan besok paginya meninggal atau sebaliknya, jatuh sakit di pagi hari dan malam harinya meninggal. Jumlah korban meninggal tak tanggung-tanggung hingga membuat seisi desa panik. Ibu sendiri tidak tahu pada masa itu apa yang menyebabkan banyak orang jatuh sakit dan mendadak meninggal.

Walau pada zaman itu ilmu kedokteran belum semaju sekarang, orang Jawa punya cara tersendiri untuk mengusir pagebluk. Pada masa itu tentu saja berhasil. Bisa jadi pada masa itu pun medis dan non medis bekerja berdampingan untuk sama-sama melawan pagebluk. Zaman Ibu muda ilmu medis pasti udah lumayan. Karena Ibu tidak hidup di zaman kerajaan, tapi di zaman 17 tahun pasca kemerdekaan Indonesia. Katanya sih pada masa itu kehidupan pribumi masih ngeri-ngeri sedep.

Pagebluk pada zaman dahulu dikaitkan dengan makhluk-makhluk astral yang datang ke dunia dan sengaja membunuh manusia. Menurut almarhum nenek saya dari keluarga bapak, pada tahun 1960-an di desa tempat kami tinggal beredar kisah tentang pagebluk berupa hantu lampor yang muncul di bulan Suro dan Sapar. Pada masa itu beredar kisah tentang lampor yang berwujud pasukan berwarna putih melayang seperti pocong yang membawa iring-iringan keranda. Jika rumah diketuk rombongan hantu itu dan pemiliknya membukakan pintu, maka si pemilik akan dibawa rombongan hantu itu dan mati. Menurut kisah yang beredar, lampor tidak bisa mengendus keberadaan orang-orang yang tidur sejajar dengan tanah. Oleh karena itu setiap bulan Suro dan Sapar, banyak orang yang memilih tidur di atas tikar dan menggunakan sapu lidi atau penebah sebagai bantal dengan posisi kepala menghadap pintu. Cari ini dipercaya sangat ampuh untuk menghindari serangan lampor.

Ketika saya masih TK, saya pernah diajak tidur dalam posisi seperti yang saya tulis di atas oleh almarhum nenek. Waktu itu saya nggak paham kenapa saya diajak tidur di atas lantai tanah, beralaskan tikar jerami dan berbantalkan penebah. Posisi kepala pun harus menghadap pintu. Paklek yang tidur di ruang tamu pun sama. Baru setelah dewasa saya menemukan jawaban jika posisi tidur seperti itu adalah cara untuk melawan serangan lampor.

Di tahun 2020 ketika wabah corona melanda dunia dan juga Indonesia yang menelan banyak korban jiwa pun disebut sebagai pagebluk oleh masyarakat Jawa. Karena dunia medis sudah maju, penyebab penyakit yang bisa menyebabkan kematian tersebut sudah bisa diketahui yaitu karena virus corona. Namun, meledaknya jumlah pasien tetap membuat jumlah kematian yang melonjak pun tak terelakkan. Tenaga medis, tenaga kesehatan menjadi pasukan yang siaga di garda paling depan dalam perang melawan wabah corona.

Bagaimana kisah tenaga medis, tenaga kesehatan berjuang di garda paling depan dalam perang ini kita pasti udah tahu. Karena sudah banyak dibagikan di berita dan sosial media. Bahkan tak sedikit jumlah tenaga medis yang gugur dalam perang melawan covid 19. Karena covid 19 adalah perang bagi seluruh masyarakat Indonesia, maka semua pun turut berjuang dengan cara masing-masing. Contohnya warga masyarakat diminta diam di rumah saja yang merupakan salah satu bentuk sumbangsih dalam perang melawan pagebluk corona.

Selain itu ada juga pejuang-pejuang lain yang turut berperang dengan cara mereka untuk mengusir corona dari bumi Indonesia. Ada pejuang doa, ada pejuang menyan, ada pejuang rebahan yang hanya diam di rumah aja, dan pejuang-pejuang lainnya. Walau jalan yang ditempuh, metode dan cara yang digunakan berbeda, tujuannya tetap sama yaitu perang melawan corona.

Ketika pagebluk corona akhirnya menginjakkan kaki di tanah Jawa, tak sedikit penghuni tanah Jawa yang turut maju ke medan perang untuk melawan corona.

Di sini saya tidak meminta siapa pun yang membaca tulisan ini untuk percaya. Saya pun berharap tidak akan ada yang berkomentar buruk tentang apa yang saya bagi di sini. Mari saling menghargai dan hidup berdampingan dalam damai. Saya hanya ingin membagikan cerita dari para pejuang non medis yang kebetulan saya ketahui. Kita tidak tahu pertolongan Tuhan datangnya dari mana. Namun, para pejuang non medis ini turut maju untuk melawan penyebaran virus corona dengan cara mereka sendiri. Saya sempat melihat salah satunya pernah ramai dibicarakan di media sosial. Karena saya tinggal di pulau Jawa dan saya orang Jawa, apa yang saya bagi di sini adalah tentang cara berperang melawan corona ala orang Jawa. No debat ya! Seperti yang saya tulis di atas.

1. Nyanyur lodeh dengan isi tujuh macam sayuran



Ritual ini yang saya sebut sempat ramai dibicarakan di media sosial. Sempat melakukan penelusuran, katanya anjuran ritual ini berasalh dari Yogyakarta, ajakan langsung dari Kanjeng Sultan.

Kami pun langsung mendapat ajakan dari Nyai Wening.

Hayu mongso pageblug... Yang mau bantu monggo... Nyayur lodeh 7 macam: Kluweh, kacang glayor, terong, kulit blinjo, waluh, godong so, tempe...

Begitu isi pesan dari Nyai Wening yang dikirim oleh Tunjung ke grup Sarang Clover. Isinya ajakan bagi yang mau membantu perang melawan pagebluk dengan memasak sayur lodeh yang berisi tujuh macam sayuran yaitu kluwih, kacang panjang, terung, kulit dari buah belinjo, buah labu kuning, daun pohon belinjo, dan tempe.

Tidak semua merespon, tapi ada lima anggota grup termasuk saya yang merespon pesan tersebut. Kami berlima berdiskusi untuk mengumpulkan beberapa bahan yang entah kenapa jadi sulit ditemukan. Kami berlima berdiskusi dan kemudian sepakat siapa pun yang mendapatkan bahan apa pun itu kecuali tempe untuk dikumpulkan di markas. Saya diberi tugas untuk menampung dan membagi sesuai jumlah anggota yang mau ikut memasak sayur lodeh.

Tim pun bekerja mencari bahan-bahan langka seperti kluwih, kulit buah belinjo, buah labu kuning, dan daun pohon belinjo. Tim di markas pertama kali menemukan kluwih. Sampai beberapa hari belum menemukan kulit belinjo, labu kuning, dan daun so. Hingga akhirnya satu-satunya member cowok yang merespon nekat masuk pasar di Malang kota untuk belanja. Alhamdulillah akhirnya mendapatkan kluwih, kulit belinjo, dan labu kuning. Untuk daun so ada satu anggota yang suaminya akhirnya dapat dari salah satu pohon di dekat tempat kerjanya. Perjuangan memanjat pohon belinjo penuh semut menghasilkan beberapa lembar daun so. Menurut penjelasan, kala itu semut di pohon belinjo luar biasa banyaknya. Tak seperti biasanya, hingga membuat nyali yang akan memanjat sempat menciut. Alhamdulillah dengan bondho nekat, akhirnya kami mendapatkan beberapa lembar daun so. Bonusnya dapat terung.





Akhirnya semua bahan yang langka terkumpul di markas. Jumlahnya tidak terlalu banyak, membuat kami yang bertugas di markas bingung untuk membaginya menjadi lima bagian untuk lima keluarga yang bersedia ikut memasak sayur lodeh. Dikit-dikit yang penting sama rata. Akhirnya bahan yang tidak terlalu banyak itu bisa terbagi secara adil untuk lima keluarga. Sisanya untuk terung, tempe, dan kacang panjang membeli sendiri. Karena ketiga bahan tersebut melimpah di pasar di desa kami.

Alhamdulillah kami bisa memasaknya secara serempak di hari yang sama dengan bahan lengkap seperti yang dianjurkan. Terima kasih dulur-dulur, kalian hebat!



Bukan tanpa tujuan, masing-masing bahan yang dipilih menjadi isi sayur lodeh punya filosofi. Berikut akan coba saya jabarkan. Sumber saya peroleh langsung dari Nyai Wening.

• Kluwih: kluwargo luwihono anggone gulo wentah gatekne. Maksudnya adalah lebih utamakan keluarga. Kepentingan keluarga lebih diutamakan.

• Cang gleyor: cancangen awakmu ojo lungo-lungo. Maksudnya, menahan diri untuk tetap berdiam di rumah saja.

• Terong: terusno anggone olehe manembah Gusti ojo datnyeng. Maksudnya adalah istikamah dalam beribadah.

• kulit melinjo: Ojo mung ngerti njobone Ning kudu Reti njerone Babakan pagebluk. Maksudnya, jangan hanya memahami sebuah peristiwa dari satu sisi saja. Pahamilah makna di baliknya. Karena setiap peristiwa pasti ada hikmahnya.

• Waluh: uwalono ilangono ngeluh gersulo. Maksudnya jangan mudah mengeluh dan banyaklah bersyukur.

• Godong so: golong gilig Donga kumpul wong Sholeh sugeh kaweruh. Maksudnya berkumpul dengan orang-orang saleh dan berlilmu.

• Tempe: temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah. Maksudnya bersungguh-sungguh dalam meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tujuan dari memasak sayur lodeh dan memakannya bersama keluarga adalah untuk menangkal pagebluk.


2. Penangkal pagebluk



Cara kedua yang dibagikan Nyai Wening adalah membuat penangkal pagebluk berupa cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, kencur yang dibuat seperti sate dan diletakkan di atas pintu masuk. Tujuannya untuk menangkap energi negatif dan menetralkannya.

Iku umpomo bisa dilihat omah e kita kayak ada di dalam balon besar. Begitu kata Tunjung. Maksudnya, dengan memasang penangkal pagebluk, maka rumah kita seolah-olah ada di dalam balon maha besar yang melindungi kita dari serangan pagebluk.


3. Poso Moteh

Monggo yang mau ikutan bantu-bantu lagi. Puasa moteh tiga hari pada tanggal 27, 28, 29 Maret 2020.
Sahur dan buka puasa hanya boleh gaplek diurap sama parutan kelapa dan dikasih garam sedikit dan air putih.
Amalannya sholawat fatih dibaca dalam jumlah ganjil.
Yang kuat monggo bantu, yang tidak jangan memaksakan diri.

Anjuran berikutnya disampaikan langsung kepada saya oleh Nyai Wening yaitu berupa ajakan Poso Moteh atau Puasa Moteh. Tujuannya untuk memurnikan diri sendiri agar terhindar dari pagebluk.


4. Jenang Sengkolo



Monggo yang mau ikut membuat Jenang Sengkala pada:
Hari: Selasa Kliwon (Anggara Kasih)
Tanggal: 14 April 2020
Jam: Sebelum jam 12.00
Tempat: Di Kediaman masing-masing.
Dengan harapan, agar SENGKALA menjauh dari diri kita, keluarga kita, rumah kita, lingkungan kita, kota kita, propinsi kita dan Negara kita, Indonesia. Amin...
Rahayu Sagung Dumadi...
Mugi-Mugi Semua dulur Sehat Selalu.

Jenang Sengkolo atau Jenang Sengkala adalah makanan yang terbuat dari ketan putih dan gula merah. Disajikan dengan santan yang diberi garam dan gula putih.


5. Thethek Melek



Setelah semua usaha tersebut di atas, Nyai Wening mengatakan pada kami jika usaha terakhir adalah dengan membuat Thethek Melek.

Thethek Melek terdiri dari suku kata yaitu thethek atau teteg dan melek. Thethek/teteg memiliki arti tangguh, melek memiliki arti waspada.

Thethek Melek terbuat dari bongkok (bagian pangkal batang daun) kelapa. Pada bongkok kelapa digambar wajah Buto Kolo (Buto Kala) yang menyeramkan dengan menggunakan kapur sirih. Lalu diikat dengan rumput alang-alang. Buto Kolo disebutkan sebagai penggambaran nafsu yang ada di dalam diri manusia. Dalam hal ini, bukan hanya wabah atau pagebluk yang harus kita waspadai. Namun, juga harus bisa waspada pada nafsu yang bersemayam di dalam diri kita. Karena seringnya manusia terjebak dalam nafsu yang tidak dikendalikan.

Bahan dari Thethek Melek yang berupa bongkok memiliki arti rasa pasrah. Bongkok berasal dari kata bongkokan yang memiliki arti pasrah kepada Sang Pencipta.

Thethek Melek juga diartikan sebagai simbol penjagaan.

Untuk Thethek Melek, tidak semua diwajibkan membuat. Di markas, Tunjung yang diberi kepercayaan untuk membuat Thethek Melek. Boleh dibilang tidak sembarang orang boleh membuat Thethek Melek. Karena ada ritual khusus yang harus dilakukan sebelum dan selama proses pembuatan Thethek Melek.

Pembuat Thethek Melek diwajibkan untuk berwudu terlebih dahulu. Saat akan menggambar di atas bongkok dianjurkan membaca surah Alfatihah sebanyak satu kali dan Ayat Qursi sebanyak tiga kali. Andai kata di tengah proses pembuatan wudunya batal, sang pembuat harus wudu lagi. Jadi selama proses pembuatan, si pembuat harus dalam keadaan suci. Setelah jadi, Thetek Melek akan didoakan oleh orang tertentu sebelum akhirnya dipasang di depan rumah dengan cara diikat dengan rumput alang-alang.

Setelah semua usaha, sisanya tetap waspada dan berpasrah kepada Tuhan Sang Pencipta Alam.


Setelah melakukan ritual-ritual untuk menangkal pagebluk, datang anjuran lagi dari Nyai Wening. Karena katanya bumi sedang bergejolak. Murka karena melihat tingkah laku manusia yang semakin menjadi-jadi. Nyai Wening menyarakan agar membuat rangkaian uang koin dan rumput alang-alang, lalu ditaruh di atas pintu masuk.



Uang koin yang digunakan adalah uang logam 100 Rupiah zaman dahulu yang memiliki gambar wayang. Uang logam tersebut melambangkan gempa bumi. Pada salah satu sisi dari uang koin terdapat gambar gunungan yang mengingatkan kita pada pagelaran wayang kulit. Dalam pertunjukkan wayang kulit, Dalang akan mengucapkan kalimat Bumi gonjang-ganjing sebelum menancapkan gunungan. Artinya, bumi bergoncang dahsyat.

Rumput alang-alang diartikan sebagai alang-alang atau penghalang datangnya bencana. Uang logam yang diikat rumput alang-alang dimaksudkan untuk menghalangi datangnya bencana.


Tidak ada maksud menduakan Tuhan atau bersikap syirik pada Tuhan. Semua yang saya bagi di atas hanya bentuk usaha, media dan sarana. Karena dalam prosesnya pun diiringi dengan doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Karena perang melawan wabah ini belum berakhir, mari berperang dengan jalan dan cara masing-masing. Berjuang sesuai peran. Jangan lupa tetap menjalakan protokol kesehatan sesuai yang dianjurkan pemerintah. Jaga kesehatan. Mohon maaf jika ada salah kata. Semoga bermanfaat. Terima kasih.


Tempurung kura-kura, 15 Agustus 2020.
- Kurayui -

You Might Also Like

0 komentar

Total Pageviews