Jangan Jatuh Sakit Di Masa Pandemi!

16:07

Jangan Jatuh Sakit Di Masa Pandemi!



Tolong, tetap sehat! Jangan jatuh sakit di masa pandemi ini.

Welcome to my curious way!


Apa kabar shi-gUi? Semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, diberi kelimpahan berkah berupa kesehatan dan kebahagiaan. Aamiin...

Sehat semua, kan? Alhamdulillah jika semua dalam keadaan sehat. Tolong, tetap sehat! Jangan jatuh sskit di masa pandemi ini. Kenapa begitu? Di sini saya akan berbagi pengalaman ketika jatuh sakit di masa pandemi.

Bermula pada tanggal 28 Juni 2020. Hari Minggu terbangun dengan merasakan badan sedikit demam, hidung pengar dan buntu, kepala pening. Cuaca hari itu memang lagi dingin banget. Karena seminggu sebelumnya kakak sulung kena flu dan sempet nyium-nyium saya, jadi mikirnya ah mungkin ketularan dia. Namun, otak (zodiak) Cancer saya yang seringnya over thinking mulai parno. Karena pada hari Sabtu, saya bertemu dengan salah satu saudara yang beberapa hari sebelumnya habis main ke pantai. Sedang diberitakan jika kasus positif corona yang baru melonjak setelah dibukanya tempat-tempat wisata yang salah satunya adalah pantai.

Pasca pertemuan yang kami duduknya deketan tanpa ada yang pakek masker, besoknya tiba-tiba saya demam. Mulai parno, kepikiran yang tidak-tidak. Berusaha menepis keparnoan, pikiran negatif yang menggerogoti pikiran. Meyakinkan bahwa demam itu efek ketularan kakak sulung yang sebelumnya flu.

Kebetulan waktu itu lagi menstruasi, tapi sudah hari keempat. Karena tidak tahan dengan kepala yang gatal, saya akhirnya keramas walau tubuh udah mulai demam. Harapan saya sakit kepala bisa berkurang setelah keramas, karena bisa jadi itu efek kepala saya yang kotor.

Namun, tindakan itu tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Saya tetap bertahan dengan mengkonsumsi obat flu yang biasa saya minum. Demam semakin menjadi, hilang ketika efek obat masih bekerja. Ketika efek obat sudah menghilang, demam kembali muncul. Hari Minggu malam, hampir semalaman tidak bisa tidur karena demam tinggi.

Senin dini hari sekitar pukul tiga, saya merasakan mual luar biasa, tapi bertahan untuk tidak bangun. Sengaja menunggu Ibu bangun, walau Bapak udah bangun. Mungkin udah feeling kalau bakalan nggak baik gitu ya. Sebelum subuh setelah mendengar Ibu bangun, udah nggak bisa nahan rasa mual dan akhirnya bangun. Nggak ada yang bisa dimuntahin, tapi tiba-tiba tubuh terasa sangat ringan, seperti berada di ruang hampa. Tubuh mulai gemetaran, saya takut dan langsung mengeluh pada Ibu. Ibu mengambil kursi untuk saya duduk di dapur.

Rasanya sudah tidak bisa mengendalikan tubuh saya sendiri. Seolah berada di ruang hampa, saya tidak bisa merasakan tubuh saya ketika dibantu untuk duduk. Saya mendengar Ibu berkata, "Sebentar! Sandalku kamu injek." Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Dunia terasa hening. Saya merasa berada di dalam kegelapan yang sangat hening. Namun, saya merasa sangat tenang. Tidak merasakan apa-apa, sakit pun tidak. Hanya gelap, hening, dan tenang.

Lalu, samar-samar saya mendengar suara Bapak yang menangis, sambil terus menyebut nama Allah. Saya berusaha membuka mata, tapi sangat berat. Dalam pandangan kabur itu, saya melihat siluet dua orang yang saya yakin itu Rara dan Afra. Kedua siluet itu berdiri diam, mematung tak jauh di depan saya. Saya merasakan punggung saya dingin, lalu tubuh saya diangkat ke atas kasur. Saya mengenalinya sabagai kasur di ruang tengah, tepat di depan televisi. Ibu menyandarkan kepala saya ke bantal dan terus memanggil nama saya. Suara tangisan Bapak diselingi menyebut nama Allah masih terdengar. Suara Ibu yang memanggil-manggil nama saya pun masih terdengar. Dua siluet yang saya yakini sebagai Rara dan Afra pun masih terlihat samar. Namun, sulit sekali bagi saya untuk membuka mata.

Ketika suara azan subuh terdengar, tiba-tiba saya seperti jatuh tertidur, lalu terkejut dan benar-benar membuka mata. Saya bingung, kenapa Bapak menangis? Ibu pun terlihat sangat panik. Rara dan Afra sudah terbangun dan berdiri di dekat kasur, menatap saya yang sedang terbaring. Rasa hangat menjalari tubuh saya, tapi saya masih kebingungan. Kenapa saya bisa berada di atas kasur ini? Bukankah tadi saya duduk di kursi di dapur? Saya tidak ingat apa-apa setelah mendengar Ibu berkata jika sandalnya terinjak oleh saya.

Tiba-tiba kakak sulung datang di pagi buta itu. Padahal jarak rumahnya dengan rumah orang tua tempat saya tinggal lumayan jauh. Napasnya ngos-ngosan dan langsung duduk di samping saya yang terbaring. Saya tidak lagi merasakan mual, tapi tubuh terasa tidak bersemangat.

"Apa dibawa ke UGD saja? Atau manggil anak-anak buat ke sini?" Saya bisa mendengar Bapak yang berbicara. Ada kepanikan di dalam nada bicaranya.
"Nggak usah." Balas saya.
Lalu, kakak sulung mengeluarkan tensimeter elektrik miliknya dan mengecek tekanan darah saya. Hasilnya, tekanan darah saya 70/60. Pantas saja tubuh terasa ringan.

Setelah kondisi lebih baik, saya pindah ke kamar tidur. Saya mendengar kronologi bagaimana saya bisa berada di kasur ruang tengah dari Ibu. Kata Ibu, usai didudukan di kursi di dapur, saya bangkit berdiri dan mulai berjalan menuju ruang tengah. Ibu bertanya, apakah saya kuat. Tapi, saya tidak menjawab. Tiba-tiba tubuh saya ambruk di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur. Ibu berusaha menahan tubuh saya, tapi gagal, dan kami berdua menimpa Bapak.

Ketika pingsan, kedua mata saya berubah putih dan terus mengorok. Membuat Ibu dan Bapak panik. Beliau berdua berusaha membuat saya sadar. Lalu, mengangkat tubuh saya ke kasur. Bapak yang terkejut sekaligus panik merasakan dadanya sakit teramat sangat. Beliau menangis karena panik melihat kondisi saya. Sedang Ibu berusaha membuat saya sadar dengan menepuk-nepuk kedua pipi saya dan terus memanggil nama saya. Namun, tidak ada respon sama sekali. Ketika azan subuh dikumandangkan, barulah mata saya terpejam dan tubuh saya seketika lemas. Setelah dipindahkan ke atas kasur, barulah saya membuka mata dan bisa mengenali satu per satu yang berada di ruang tengah.

Jadi, saya pingsan?

Menurut versi Rara, dia terbangun usai mendengar bunyi kayak orang terbentur. Lalu, karena Ibu berteriak panik memanggil Bapak, dia memutuskan turun dari ranjang dan keluar. Saat itu Afra yang tidur dengannya ikut terbangun. Kata Rara, saat saya tak sadarkan diri, benar kedua mata saya terlihat putihnya saja. Selain itu saya menggeram seperti orang yang sedang kesurupan. Itu yang membuatnya berdiri mematung di depan kamar Ibu bersama Afra.

Jadi benar, dua siluet yang sempat saya lihat adalah Rara dan Afra. Saya benar-benar pingsan.

Setelah mendengar penjelasan kronologi saya jatuh pingsan, saya merasa ngeri. Memang bukan yang pertama kali, tapi setiap kali setelah jatuh pingsan, saya selalu dibuat ketakutan. Saya takut kalau pingsan, nggak bangun lagi. Alasan kenapa ketika tubuh saya mulai terasa oleng saya memilih istirahat saja karena saya takut pingsan dan nggak bangun lagi. Hal yang sangat menakutkan bagi saya dan selalu menyisakan rasa was-was pasca kejadian.

Karena kondisi masih lemah, saya izin tidak masuk kerja di hari Senin. Saya yakin penyebab pingsan adalah tekanan darah saya yang terlalu rendah karena demam semalaman yang tidak bisa tidur. Saya pun fokus untuk menaikkan tekanan darah dengan berusaha istirahat. Saya belum berani minum banyak-banyak karena khawatir kalau jatuh lagi kalau harus bolak-balik ke kamar mandi untuk pipis. Padahal biasanya kalau tekanan darah sedang turun, per hari saya mengkonsumsi 3 liter air putih untuk membantu menstabilkan tekanan darah. Demam sudah turun pasca pingsan. Saya masih meyakini demam itu karena flu yang saya dapat karena ketularan kakak sulung.

Pada pukul sembilan, usai sarapan dan minum obat flu, gejala itu muncul lagi. Gejala seperti pukul tiga dini hari tadi sebelum saya jatuh pingsan. Rasa mual itu muncul lagi, kepala seolah berputar dan kembali merasa seperti berada di ruang hampa. Karena takut, saya menangis. Membuat Ibu panik dan hendak membawa saya ke IGD. Kebetulan lokasi rumah dekat sama puskesmas dan IGD berada di samping depan rumah. Ibu mencari Bapak yang entah ke mana sama Afra.

Di tengah tangisan itu berusaha menenangkan diri dan memanjatkan doa. Memohon kekuatan dan memohon agar kondisi lekas stabil lagi, nggak sampek pingsan lagi. Lima belas menit kemudian, sensasi yang amat mengganggu itu pun hilang. Saya berusaha menenangkan diri dan kemudian tertidur sejenak karena pengaruh obat.

Karena tidak ada buah alpukat, sore harinya mau nggak mau harus mau makan sate kambing agar tekanan darah cepat naik. Demam masih sama, turun waktu efek obat masih ada. Padahal kalau flu, sekali minum obat itu udah membaik. Saya mulai merasa bahwa mungkin aja ini bukan flu, tapi masih bertahan. Hari Selasa pagi dicek, tekanan darah sudah berangsur naik. Alhamdulillah. Karena sudah mulai stabil, udah berani minum air putih banyak-banyak. Seperti yang sudah-sudah targetnya 3 liter per hari. Nggak papa bolak-balik kamar mandi, karena kondisi udah mulai stabil dan masih istirahat di rumah.

Hidung udah nggak pengar atau bindeng, tapi kepala masih sakit. Selasa malam, demam mencapai 38.5°. Makin yakin kalau ada yang salah dan sakit saya bukan flu. Saya minta tolong ke Ibu, hari Rabu dibawa aja ke puskesmas. Saya mau periksa biar tahu pastinya sakit apa. Tubuh masih terus waspada pasca pingsan di hari Senin dini hari. Suer itu bikin capek juga.

Hari Rabu akhirnya dibawa ke puskesmas untuk periksa. Tekanan darah alhamdulillah semakin naik mendekati normal. Lalu, bertemu dengan Dokter Anik, dokter yang menangani saya sejak tifus kambuh ketiga pada tahun 2017 kalau tidak salah ingat. Karena ada demam dan sudah tiga hari, saya pun harus menjalani serangkaian wawancara sesuai prosedur pemeriksaan covid 19. Ditanya apa pernah keluar, keluar ke mana aja, kontak dengan siapa aja.

Saya menceritakan apa adanya. Keluar untuk bekerja saja. Di toko pun menggunakan masker yang tidak pernah dilepas. Sehabis melayani pembeli pun langsung pakek hand sanitizer dan kalau udah tiga kali pemakaian langsung cuci tangan. Akhirnya saya dirujuk untuk cek darah. Karena demam sudah tiga hari dan saya ada riwayat tifus.

Setelah menunggu selama satu jam, hasil laboratorium pun keluar. Hasilnya, saya terkena gejala demam berdarah. Kaget dan nggak nyangka. Tapi masuk akal, karena kerjaan dan rumah deket puskemas. Sedang kasus rawat inap demam berdarah sangat tinggi. Jadi wajar kalau saya bisa terjangkit demam berdarah.

Menurut Dokter, trombosit saya mengalami penurunan. Leukositnya juga mengalami penurunan. Tidak banyak, tapi harus tetap diwaspadai. Doker juga mengatakan saya harus rawat inap. Tapi setelah dicek, rawat inap penuh. Dokter pun bingung, lalu akhirnya memberi izin saya untuk bed rest di rumah saja dengan catatan jika saya udah merasa nggak kuat harus segera ke IGD. Seperti ketika tifus kambuh, bed rest di rumah.

Saya lega. Karena jujur saya takut diinfus. Masih ada trauma pasca operasi sinusitis ketika saya kelas dua SMP. Diinfus rasanya sakit banget. Bertekad sembuh tanpa opname. Minum air putih banyak-banyak, istirahat cukup, tetap makan, dan minum obat rutin.

Walau pikiran sempet kacau karena diagnosisnya gejala demam berdarah, tapi terus meyakinkan diri sendiri bahwa ya hanya gejala demam berdarah. Pemberitaan memang membuat otak saya kacau. Padahal Dokter juga udah meyakinkan bahwa tidak mungkin covid. Namun, karena sempet baca ada yang awalnya didiagnosis gejala demam berdarah dan demam berdarah tapi ujung-ujungnya covid, sempat membuat otak saya kacau dengan ketakutan dan keparnoan.

Gawat! Kalau terus takut dan parno, imunitas bisa turun dan proses penyembuhan makin lama. Saya fokus meyakinkan diri sendiri bahwa ini hanya tifus. Karena Dokter juga bilang ada tifusnya tapi nggak terlalu tinggi. Ya hanya tifus. Pasti bisa melalui dengan baik seperti sebelumnya. Yang penting minum obat rutin, istirahat cukup, dan makan yang banyak.

Saya lebih tertarik untuk minum jus daun pepaya saja agar trombosit cepat naik. Tapi, karena ada maag, Ibu nggak berani buatin. Walau bagus juga buat tekanan darah, Ibu khawatir ntar lambungnya yang gantian eror. Akhirnya mau nggak mau harus mau makan daging bebek untuk meningkatkan trombosit. Saya takut kalau minum sari kurma, karena terakhir makan kurma tensi saya turun parah. Untuk jus jambu, tidak boleh karena ada tifus. Jambu mengandung vitamin C tinggi, jadi khawatir malah memperburuk tifusnya. Situasi yang rumit!

Ketika Paklek dan Rara terkena demam berdarah, keduanya mengeluhnya luar biasa. Ketika merasakan sendiri, saya jadi paham kenapa keduanya ngeluhnya luar biasa. Padahal saya masih gejala demam berdarah, tapi sensasinya luar binasa. Lebih sakit dan lebih menyiksa dari ketika sakit GERD dan tifus.

Ketika bed rest GERD dan tifus, saya masih bisa baca buku atau nonton di hape ketika bosan. Terkena gejala demam berdarah, bed rest benar-benar hanya tiduran saja. Tubuh sama sekali nggak bisa diajak kompromi. Sakit yang menyertai adalah migrain. Kepala sebelah kiri sakit minta ampun membuat mata sebelah kiri terus berair dan seolah akan lepas dari tempatnya. Kondisi itu membuat saya tidak bisa berada di tempat bercahaya. Karena semakin membuat sakitnya menjadi. Buat lihat hape sakit mata dan kepala. Berada di ruangan bercahaya sakit mata dan kepala. Saat siang hari kelambu harus ditutup agar cahaya matahari tidak masuk. Kalau malam pun tidak bisa menggunakan lampu utama karena terlalu terang. Jadi kamar harus gelap.

Paling menyiksa ketika hari Kamis. Semua sensasi muncul. Makan terasa pahit. Apa-apa yang masuk mulut rasanya pahit bak racun. Sekujur tubuh sakit, persendian terasa sakit, kepala sakit. Tidak bisa tidur sama sekali karena ribuan sensasi yang muncul. Saya pun kembali dibuat menangis. Saya mikirnya mungkin ini puncak pertarungan antara virus dan antibodi tubuh saya. Saya harus kuat! Menangis dan terus berdoa memohon kekuatan pada Tuhan. Hingga malam sensasi masih luar binasa hingga membuat terjaga sepanjang malam. Ketika tertidur sejenak, mimpi buruk melanda. Jadilah tetap terjaga hingga pagi tiba.

Kondisi tubuh masih was-was ditambah Kamis malam sama sekali tidak bisa tidur. Hari Jumat tubuh yang was-was semakin ndak karuan. Saya takut sensasi itu datang lagi, gejala saat akan pingsan. Sedang hari ini harus kembali ke puskesmas untuk cek lab. Didukung cuaca yang dingin, tubuh semakin menjadi was-wasnya. Ketika masuk ruang laboratorium untuk ambil darah, serangan panik melanda. Dalam ruangan kecil dan ber-AC itu, saya takut pingsan. Tubuh pun gemetaran. Sebenarnya ini tindakan bodoh, tapi saya tidak punya pilihan. Saya meminta izin untuk menurunkan makser demi menghirup aroma minyak kayu putih agar saya bisa tenang.

Melihat tubuh saya gemetaran dan wajah saya mendadak pucat, asisten petugas laboratorium jadi ikut gugup sampai tidak berani mengambil sampel darah saya. Akhirnya petugas lab yang turun tangan sendiri. Alhamdulillah sekali tusuk di lengan kanan langsung berhasil (pada hari Rabu diambil di lengan kiri oleh asisten petugas lab). Sebelumnya pernah kejadian seperti itu--saya terkena serangan panik saat akan diambil darah hingga membuat petugas ikutan panik--hingga saya dilarikan ke IGD dan sampel darah harus diambil dari pembuluh darah di pergelangan tangan kanan di IGD. Sumpah itu sakit sekali. Alhamdulillah tidak sampai terulang drama seperti itu.

Kembali menunggu hasil dan setelah mengantongi hasil lab, ternyata dokter yang bertanggung jawab sedang izin. Perawat yang membaca hasil lab mengatakan sudah ada perkembangan dan bagus. Trombosit dan leukosit sudah naik. Saya ditawari untuk konsultasi ke dokter lain yang bertugas hari itu. Saya pikir nggak papa lah. Lalu, saya pun berkonsultasi dan diresepkan paracetamol dan vitamin.

Saya mohon maaf sekali untuk hal ini, Dokter. Karena saya sempat berkata dalam hati, kalau hasil baik kenapa saya dikasih paracetamol? Kenapa bukan vitamin aja. Sesampai di rumah migrain kembali menyerang. Setelah minum paracetamol alhamdulillah membaik. Saya pun segera minta maaf pada Dokter yang memeberi resep karena sempat mencibir obat yang diresepkan. Mohon maaf, Dokter.

Total sepuluh hari bed rest. Kalau untuk pemulihan lebih lama dari tifus. Walau sudah bisa beraktivitas, tubuh masih terasa lemas aja. Saya sempat dibuat sebal sama kondisi itu. Tapi perawat dan bidan yang saya curhati komentarnya sama, "Sabar ya. Kalau sakit tifus plus demam berdarah emang gitu. Pemulihannya butuh waktu lebih lama."

Sebenarnya sejak virus corona ramai dibicarakan, sebisa mungkin saya menjaga kondisi agar tidak sakit. Tidak jajan sembarangan, terlebih masuk bulan rawan pada bulan Maret, April, Mei. Karena pada tahun sebelumnya rawan kambuh. Keteledoran saya adalah ketika kakak sulung flu, saya tidak bergegas membuat benteng dengan minum vitamin C hingga akhirnya demam dan hidung buntu. Walau pada akhirnya ketahuan penyakitnya bukan flu melainkan tifus dan gejala demam berdarah.

Pesan saya buat teman-teman, tolong tetap sehat. Jangan jatuh sakit di masa pandemi ini. Karena kita tidak hanya perang melawan virus corona, ada demam berdarah yang masih mengancam. Walau katanya kalau musim hujan udah hilang nyamuk hilang, tapi ini sudah masuk musim kemarau, demam berdarah masih meraja rela. Di sini, 99,99% pasien rawat inap adalah karena demam berdarah. Jaga kesehatan, jaga kebersihan lingkungan.

Karena kalau sakit di masa pandemi ini mau berobat pun susah. Jumlah pasien dibatasi, jadi harus rebutan untuk bisa dapat nomor antrean. Kalau harus rawat inap pun susah. Karena sejak corona masuk Indonesia, peraturan baru diterapkan dengan sistem jaga jarak. Ruang rawat inap tidak boleh diisi penuh. Yang isi empat orang hanya boleh diisi dua orang. Yang isi dua orang hanya boleh diisi satu orang. Jadi, tolong tetaplah sehat lovely people.

Semoga apa yang saya bagi bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Mohon maaf jika ada salah kata. Terima kasih.


Tempurung kura-kura, 01 Agustus 2020.
- Kurayui -

You Might Also Like

0 komentar

Total Pageviews